DUNIA MAGENTA
Oleh: Ju
kisah ini teruntuk mereka yang sering
kali merasa ditinggalkan,
dikhianati oleh teman sendiri, atau
malas menjalani kehidupan.karena,
hanya satu yang ingin
kutunjukan padamu. Bahwa kita ‘sama’
Bel istirahat sebenarnya sudah berbunyi satu menit yang
lalu. Tapi, entah mengapa rasanya malas sekali keluar kekantin untuk mengganjal
perut, seperti teman sekelasku yang lain. Rasanya entahlah, tak bisa
kudefinisikan. Malas keluar, malas ngemil, malas mengerjakan soal, bahkan hanya
untuk sekedar beranjak dari bangkupun aku enggan.
Dikelas hanya tersisa
diriku sendiri yang sedang sibuk mencoret coret buku demi pelampiasan rasa
bosan. Ah! Ayolah kenapa bel lama sekali. Teman teman kenapa juga belum kembali
kekantin? Sebenarnya apa yang mereka lakukan disana? Tidak mungkinkan selama 5
menit mereka habiskan hanya untuk mengunyah? Yang benar saja. Kenapa juga sih
diumurku yang baru Sembilan tahun ini hidupku terasa membosankan. Tak bisa
kubayangkan kelak kalau sudah besar seberapa membosankannya hidup itu. Rasanya
ingin mati muda saja kalau bunuh diri itu diperbolehkan.
Kulihat anak perempuan berkucir kuda masuk kekelasku. Dia bukan
teman kelasku. Kenapa masuk kesini. Memangnya dia anak baru sampai tersesat
masuk kekelas orang lain. Dan, nyatanya dia berjalan kearahku. Lalu, sambil
tersenyum dia mengulurkan benda kecil berwarna hitam kepadaku. Yang akhirnya
kukenali itu adalah jepit rambut yang manis.
“hai.”
Ucapnya.
“hai.” Dengan bingung kujawab sapaannya, dengan tetap memelototi jepit rambut
yang disodorkannya kearahku.
“ini untukmu, vhika.”
“kenapa?”
“kenapa juga kau bertanya kenapa?” menjengkelkan.
“kenapa kau memberiku jepit rambut ini?”
“siapa yang bilang aku memberimu ini?”
“kau.”
“kapan?”
“baru saja.”
“tidak. Aku hanya berkata ini untukmu.bukan dariku.”
“lalu, bagaimana?” sebenarnya apa sih maksudnya. Jelas jelas dia memberiku
jepit rambut itu. Tapi, kenapa juga dia tak mau mengakuinya.
Yang ditanya hanya tersenyum kalem. Membuatku bingung plus keki
dibuatnya yang tidak jelas ini.
“ini bukan dariku, tapi dari kiki.”
“kiki? Teman sekelasku?”
“siapa lagi.”
“lalu, dimana dia? Kenapa tak memberikannya langsung padaku.”
“jangan bertanya padaku. Akupun tak tahu.”
“siapa yang bertanya padamu?”
“kau.” Balasnya dengan sedikit jengkel kedengarannya. Mengingat, aku
mengikutinya yang suka membalikkan perkataanku. Rasakan. Siapa suruh berurusan
dengan orang yang sedang bad mood. Mati saja sana.
“ah sudahlah! Tanyakan sendiri pada orangnya. Dia ada dibelakangmu.” Lalu, dia
pergi tanpa permisi denganku. Setelah mengucapkan kata perpisahan yang cukup
hangat.
Kutengok kearah bangku bagian belakang, yang disana duduklah kiki si
anak pindahan minggu kemarin. Dalam diamnya dia tersenyum membalas tatapan
kebingunganku. Pertanyaan yang sudah ingin kulontarkanpun buyar entah kemana.
Kemana perginya kecerewetanku yang tiada tanding itu pergi? Tanpa alasan yang
jelas aku jadi gugup sendiri. Ugh! Apa yang terjadi denganku.
“hai.”
“kamu suka dengan jepit rambutnya? Aku mendapatkannya dari snack yang kubeli
kemarin. Lalu, kupikir kamu akan suka memakainya.” Dengan panjang lebar
diceritakannya peristiwa bagaimana dia bisa mendapatkan jepit rambut ini. Dan
seperti yang kuyakini pada awalnya, dia tak mungkin dengan sengaja membeli ini
untuk kesenangannya. Karena, mengingat ego laki laki yang cukup besar.
“kenapa aku?”
“apa?”
“kenapa kamu memberikannya padaku? Bukan pada yang lain.”
“karena, aku ingin kamu yang pakai.”
“baiklah, terima kasih.” Lalu, dia tersenyum sabagai balasan ucapan terima
kasihku atas pemberiannya. Dan dengan isyarat dia memintaku untuk memakainya.
Pada saat itu juga. Lalu, kuturuti permintaannya. Dan dia berkata seperti ini.
“cantik. Aku suka.”
“terima kasih.”
🦌🦌🦌
Aku suka pelajaran matematika. Karena, menurutku matematika adalah
pelajaran yang keren. Bukuku penuh dengan coretan. Tanpa pandang bulu itu buku
pelajaran apa. Entah buku bahasa Indonesia, ips, bahkan halaman terakhir buku
bahasa arabpun tak bisa lolos dari dari coretan coretanku.
Karena, kebiasaanku itulah aku jadi sering dapat teguran dari para
guru. Katanya, bukuku kotor sekali. Karena, tak ada yang bebas dari angka
angka. Sekotor kertas yang jatuh disaluran irigasi depan halaman sekolah. Malas
sekali kalau sudah begitu. Padahal justru karena coretan itu menurutku bukuku
menjadi buku paling keren dari anak sekelas. Sebanding dengan anggapanku kalau
matematika itu keren, maka ketika diriku menjadi orang pertama, saat itulah aku
merasa kalau aku itu keren. Sangat sangat menakjubkan. Sehebat super hero
produksi marvell yang terkenal keren itu.
Untuk hari ini, aku harus jadi yang paling keren seperti wonder woman.
Karena, tahulah sekarang ada pelajaran matematika dan kabar
baiknya. Kemarin ada tugas materi tentang pembagian dengan mengunakan porogapet.
Pokoknya aku harus nomor satu.
Makanya saat ibu guru yang mengajar menyuruh untuk angkat tangan
cepat cepat, dengan sekuat tenaga dan diiringi semangat 45 aku mengangkat
tangan. Dan dengan percaya diri mulai melangkah maju kearah depan kelas.
Sebelum beberapa saat kemudian terhenti karena perkataan ibu guru.
"vhika,
apa yang kau lakukan?" tanyanya dengan intonasi heran. Memangnya apa yang
salah? Selama ini tak ada yang bisa menandingi kegesitanku dalam mengangkat
tangan.
"tentu
saja mau mengerjakan soal pertama. Apa lagi?"
"tapi, ibu belum mengatakan apapun."
"tapi, kalau bu guru lupa. Selama tiga tahun sekolah disini tidak ada yang
bisa menandingku dalam hal unjuk tangan. Jadi, tunggu apalagi?" lalu,
dengan percaya diri mulai melanjutkan langkah yang sempat terhenti. Ibu guru
seperti akan mengajukan sesuatu. Tapi diurungkannya.
"aku."
Sahut seseorang dari arah belakang. Menoleh kearah belakang dan kudapati kiki
nevhian disana. Berdiri lurus denganku.
"apa?"
"aku lebih cepat darimu tadi. Jadi aku lebih berhak untuk maju
kedepan." Orang ini bercanda pada waktu yang tidak tepat. Mustahil, dia
yang baru dua minggu disini bisa melebihi kegesitanku saat mengangkat tangan.
"bodoh."
Lebih baik abaikan. Mengangguku saja, baru saja kubalikkan badan
memunggunginya. Sepuluh detik kemudian aku merasa tanganku disentakkan
kebelakang dan kiki keparat itu melewatiku dengan mudah.
"kau tuli atau apa? Aku sudah bilang kalau aku lebih cepat darimu."
Lalu, papan tulis yang seharusnya penuh dengan rumus rumus dariku
beralih menjadi milik tulisan reot kiki. Menjengkelkan. Memalukan. Menyebalkan.
Menjengkelkan. Pokoknya mulai sekarang aku membenci kiki. Dia rivalku sekarang.
Lalu, setelahnya dia berbalik dan otomatis berarti berjalan kearahku yang masih
belum beranjak untuk duduk dari tadi.
"vhika,
tiga tambah tiga berapa?"
"enam?"
"kamu cantik kalau seperti itu."
Astaga. Ugh aku malu sekali, ternyata dari tadi mulutku melompong lebar lebar.
Karena, saking shoknya maka aku sampai tak menyadarinya. Kurasakan wajahku
memanas, memerah seperti kepiting rebus. Seolah olah semua darahku mengumpul
diwajah. Dengan tampang menahan malu, akhirnya aku mempunyai cukup nyali untuk
sekadar kembali kebangku yang cukup lima langkah kebelakang.
"vhika?"
panggil ibu guru dari depan kelas. Dengan tampang tak enak hati atas kejadian tadi.
Menyedihkan sekali nasibku. Aku tak suka ditatap seperti itu, seolah olah
hidupku berakhir tragis saja. Padahalkan masa depanku masih cerah. Secerah
matahari yang akan lenyap dipelupuk barat. Oke, mari kembali ingatkan bahwa aku
baru saja dipanggil oleh ibu guru.
"iya,bu?"
"kamu mau membantuku mengerjakan soal nomor dua? Sepertinya soal ini
terlalu sulit untuk teman temanmu. Bisakah kau bantu mereka untuk
menjawabnya?"
"maaf, bu. Tapi aku tak bisa."
"kenapa? Biasanya kau selalu semangat saat kuminta untuk
mengerjakan."
"itukan biasanya. Berarti tidak untuk hari ini."
"tapi, kenapa?"
"maaf, bu. Tapi aku tak suka diduakan."
"memangnya siapa yang menduakanmu?" tanyanya lagi.
Tapi, tak kuhiraukan. Sekali aku bilang gak mau ya enggak. Paham
tidak sih? Kalau aku sudah terlanjur malu karena insiden tadi? Makanya,
terserah mau dibujuk seperti apa. Dipuji seperti apa,aku tak mau peduli.
"baiklah, mari kita lupakan saja soal soal ini. Dan berlanjut ke sub
materi selanjutnya."
Dan selama pelajaran berlangsung. Tak ada satupun kalimat bu guru
yang benar benar kudengarkan. Semua hanya seperti kicauan balita yang hanya
kutanggapi dengan anggukan kepala agar ia cepat diam. Namanya juga anak kecil,
ditanggapi seperti itu saja senangnya melewati menang door prize kipas angin
yang diadakan sekolah SDku saat tujuh belasan. Tapi, bu guru bukan anak anak.
Dan beliau sepertinya memahami gelagatku yang sedari tadi nampak tidak begitu
tertarik dengan materi yang sedang disampaikannya.
Berulang kali bu guru meminta bantuan, sebanyak itu pula kutolak dengan
berbagai alasan yang tanpa sengaja lewat diotakku.
"vhika,
bisakah tolong kau ambilkan buku anak anak dikantor?"
"maaf, bu. Jangan aku, etta saja. Katanya dia sedang bosan
dikelas."
Dilain kesempatan,
"vhika, tolong bacakan paragraph lima."
"tapi aku tidak tahu paragraph itu apa."
"abu butuh jawaban soal pertama. Vhika, bisakah kamu memberikannya."
"aku lupa membawa lks."
"vhika bisakah..."
Seperti itu terus sampai bel pulang sekolah berbunyi. Bu guru yang
mencoba meminta bantuan, dan aku yang berperan menolaknya mentah mentah.
Sebenarnya agak tak enak hati berperilaku seperti itu. Tapi, bagaimana lagi.
Terlanjur sebal. Jadi maaf maaf saja kalau tanpa sadar aku seperti pelampiasan
terhadap bu guru.
Kelas sudah mulai sepi, hinga kupikir tingal aku sendirian yang masih betah
disini sambil mencoba mengerjakan soal perkalian. Tapi, itu sebelum kurasakan
seseorang berdiri disamping bangkuku. Dia kiki nevhian. Anak pindahan minggu
kemarin, yang tadi baru saja memberiku jepit rambut hasil darinya membeli
snack.
"hai." Sapanya. Memutuskan untuk memulai percakapan
setelah dari tadi kami hanya saling mendiamkan. Sebenarnya tidak sepenuhnya
mendiamkan, tapi lebih menjurus ke bingung untuk berbincang mengenai apa.
Karena, aku yang memang pribadi tidak terbiasa bergaul dengan lawan jenis.
Jangankan untuk mengobrol dengan anak baru, hanya sekedar bertukar sapa dengan
teman sekelaspun aku enggan.
"hai."
"kenapa belum pulang?"
"malas."
"kenapa tadi kau tidak mau maju kedepan, untuk mengerjakan tugas rumah
kemarin? Biasanya kau paling bersemangat."
"malas."
"lalu, kenapa setiap bu guru meminta bantuanmu. Kau selalu menolak."
"malas."
"dan apakah setiap kali aku bertanya, kau akan menjawab malas?"
"tidak." Aku mulai jengah. Anak sekecil korek ini cerewet sekali.
Menggangguku saja. Aku jadi kehilangan waktu untuk mengheningkan cipta walaupun
sejenak. Sebenarnya apa yang diinginkannya? Kapan dia akan pergi dari sini?
Tuhan, bisakah kuminta Kau untuk kirimkan salah satu malaikat untuk membawanya
pergi? Dia berisik sekali.
"kenapa kau.."
"sebenarnya kau mau apa sih." Potongku. Aku benar benar sudah tidak
tahan dengan anak sebesar pentul jarum ini.
"kau Tanya apa mauku?"
"jangan membalikkan pertanyaanku."
"siapa? Aku tidak."
"iya, kau."
"tidak."
"terserah." Dengan tergesa kubereskan buku tulis, pensil, dan
penghapus yang terserak disepanjang meja kedalam tasku.
"kau mau pulang?"
"iya."
"kenapa tidak mengajakku?"
"kenapa juga aku harus mengajakmu?"
"karena, aku temanmu."
"sejak kapan kita bertaman?"
"dari awal aku bersekolah disini."
"tapi, aku tak pernah merasa.."
"baiklah. Vhika, ayo kita berteman." Ucapnya sambil menyodorkan
tangan kearahku.
🐾🐾🐾🐾
Kadang aku sering kali berfikir. Kalau hidupku penuh dengan adegan
sinetron TV. Maka ketika aku baru menyadari dari sekian hari kepindahan kiki,
kalau arah jalan pulang kami searah. Aku tidak terlalu kaget. Karena aku sudah
sering menyaksikannya terjadi di sinetron yang kutonton. Yang tidak bisa
kunalar. Kenapa dia pagi ini begitu nekad memanggil manggil namaku dari luar
rumah demi mengajakku berangkat sekolah bersama. Sebenarnya apa yang ada di
otaknya? Aku tak pernah merasa kalau kami sedekat itu. Sampai berangkat
sekolahpun harus bersama. Kenal mungkin sudah sedari awal dia pindah ke
sekolahku. Tapi, mengobrol baru terjadi kemarin. Ku pertegas, baru kemarin
terjadi. Dan sekarang dia berani mengajakku berangkat sekolah bersama? Anak
sebesar korek api itu? Astaga. Ini sangat mencengangkan.
Maka, ketika ibuku bertanya perihal siapa gerangan anak laki laki
yang memanggilku dari luar rumah, aku bingung untuk menanggapinya. Memangnya
apa yang harus kukatakan? Maka, kujawab sekenanya kalau dia teman sekelasku
yang baru pindah minggu lalu. Tapi, ibu malah memandangiku dengan sorot tak
percaya. Lantas aku harus menjawab apa? Kalau kenyataannya memanglah seperti
itu.
"vhika,
ayo panggil dia untuk masuk." Spontan kujawab.
"untuk apa?"
"apakah kau selalu menjengkelkan seperti ini pada teman temanmu? Pantas
saja hidupmu sepi seperti gudang." Adakah pengandaian yang lebih baik,
dari pada harus menggunakan gudang untuk menggambarkan diriku?
"cepat panggil dia. Ajak untuk sarapan bersama kita."
Aku mendengus. Memangnya aku bisa apa demi menolaknya? Dirumah ini
aku hanya berpangkat sebagai anak. Jadi, wewenangku sangat terbatas. Maka,
tunggu aku naik jabatan menjadi mertua galak. Nanti ketika ada orang seperti
kiki datang. Belum sampai mengetuk pintu, dari dalam rumah sudah kuteriaki
untuk segera hengkang dari sini. Biarlah para tetanga membicarakannku. Yang
penting hidupku makmur dan sejahtera.
Jika diriku bertampang masam seperti salad yang biasa ibu buatkan
untukku. Maka, berbeda seratus delapan puluh derajat dengan tampang anak itu.
Saat kubukakan pintu untuk mengajaknya sarapan bersama, yang kulihat disana
hanyalah wajah penuh semangat tanpa ada rasa sungkan sama sekali. Ekspresi
langka bagi mereka yang masa pertemanannya masih seumuran kedelai. Dia
membuktikan ucapannya, waktu mengajakku berteman kemarin. Kalau dia merasa
sudah lama berteman dengan ku. Ah! Aku melupakannya. Pantas saja kiki tak
merasa canggung sedikitpun padaku. Bahkan pada hari pertama sudah nekad seperti
ini. Lalu, kupikir mungkin besok besok pertemanan kami bisa lebih dari sekadar
berangkat bersama.
"ayo.
Masuk dulu, ibuku membuat nasi goreng. Dan ingin kau ikut mencicipinya."
"pasti lezat." Hanya itu ucapannya. Dan langsung pergi melewatiku
demi menuju meja makan yang sudah ditunggui ibuku.
Setelah saling sapa ala kadarnya, sarapanpun dimulai dengan cerita
remeh yang dilontarkan oleh kiki. Ibuku sesekali menanggapinya dengan tawa
ringan dan aku hanya menjadi pendengar yang baik. Jadi, cukup diam saja.
"terimakasih,
atas sarapannya yang lezat." Ucap kiki. Sewaktu kami akan berangkat
sekolah.
"iya, besok besok jangan sungkan kesini." Jawab ibuku dengan riang.
"tentu saja. Aku akan sering bermain disni dengan , vhika." Terserah
dengan apa yang kau ucapkan. Yang penting sekarang bergegas kita berangkat.
"baiklah, bu. Aku akan berangkat dengan kiki."
"iya, hati hati. Dan jangan apa apakan dia."
" kenapa ibu malah berkata seperti itu. Bukannya takut aku yang di
apa apakan, aku kan perempuan?"
"kau tidak semenarik itu, vhika. Sampai membuat kiki berniat buruk
padamu."
"perkataanmu membuatku sakit, bu." Ucapku sambil memegangi dada.
Ibuku hanya menatap jengah, mungkin sedang meratap kenapa aku selebai ini.
Sedangkan, kiki hanya terkekeh melihat interaksi anak dan ibu dihadapannya.
"tenag saja, ibunya vhika. Kiki gak nakal kok, jadi pasti gak ada yang
gangguin."
"vhika juga anaknya baik, kok. Cuma kadang kadang suka sombong."
"sering." Timpal ibuku dan kiki serempak. Apa apaan mereka? Sampai
ngomong aja kompaan. Kaya pemandu sorak. Serasa dianak tirikan.
""kapan? Gak ada yang begituan. Vhika mana ada sombong kaya
gitu."
"kemarin. Waktu vhika kiki ajak bertaman. Kamu menolakku, kan?"
"vhika..." tegur ibuku. Yah bagaimana lagi. Gara gara kiki si pengadu
ini, jadi ketahuan deh.
"tapi, sekarang kita berteman. Jadi, kenapa mengadu pada ibuku."
"aku tidak mengadu."
"iya, kiki mengadu."
"tidak."
"iya."
"sebenarnya kalian mau berangkat atau tidak? Nanti kesiangan." Ucap
ibuku.
"bolehkah, vhika minta uang saku tambahan, bu?"
"memangnya uang yang ibu berikan kurang?"
"enggak, sih. Cuma hari ini vhika harus kas kelas, mau masukin uang di
otak yang ada di mushola. Karena, vhika lihat biasanya ibu guru masukin uang
kesitu. Jadi, vhika pengen. Terus, pengen beli lollipop sama es krim."
Ibuku hanya diam. Tak kunjung memberi jawaban, hinga kupikir ibu tak mau
menambah lagi.
"kalau, tidak. Juga taka pa."
"siapa yang bilang ibu tak mau?"
"tapi, ibu diam saja."
"ini." Sambil menyodorkan sejumlah uang kepadaku. Saking girangnya,
tanpa sadar aku sampai melompat lompat. Tanpa terpikir kalau kiki melihatku
berkelaku konyol.
"gunakan uangnya sesuai apa yang kamu ucapkan, vhika. Ibu percaya
padamu."
"siap, bundahara." Jawabku meniru ala Dilan milik Milea.
🦌🦌🦌🐾
“KIKI.” Jeritku ditengah tangisan yang kian
membahana.
“kamu nagis kenapa, sih.”
“kiki gak bilang kalau sekarang ada PR.”
“kan vhika tadi malem udah jadwal. Masa gak tahu kalau ada PR.”
“terus gimana?” tangisku bertambah keras. Aku baru menyadarinya tadi, saat
teman temanku sibuk mencontek. Maka, ketika aku baru menyadari kalo soal soalku
masih bersih dari jawaban. Tanpa perlu di aba aba, pada saat itu juga tangisku
pecah. Tentu saja, aku panik. Aku tak pernah seperti ini sebelumnya.
“vhika pintar, kan?” Tanya kiki serius. Kutanggapi
dengan anggukan kepala. Jangan Tanya soal itu, aku kan juara kelas bertahan
dari dulu.
“kalau begitu, coba buktikan. Buktikan dengan menjawab soal pecahan ini secepat
mungkin. Kalau vhika berhasil, baru kiki mempercayainya.”
“siapa takut.”
“ya udah. Coba cepat kerjakan.”
“ya udah. Kiki jangan berisik. Aku harus berkosentrasi.”
“baiklah.”
“sudah kubilangkan. Kiki diam, jangan berisik.” Setelahnya, kiki menatapku
jengkel, salah siapa. Aku kan tadi sudah mengatakan padanya untuk jangan
berisik. Tapi , dia tak menghiraukanku. Salah siapa.
Mata, tangan, otak, dan segala yang kupunya benar
benar kupusatkan pada soal soal ini. Sebenarnya, siapa sih orang pengangguran
yang mau membuat soal seperti ini. Sudah ditambah terus dikurang belum lagi
perkalian dan pembagiannya. Iya, kalau itu semuanya angka bulat. Lah ini, sudah
bulat, setengah,lalu sepersekian dari itu. Pokoknya soalnya super campuran.
Kenapa, juga gak membuat soal yang satu macam. Penjumlahan ya Cuma dijumlah gak
ada namanya yang dikurangi apalagi sampai dibagi bagi.
“selesai.” Tepat dua menit dua detik bu guru masuk
ke kelas. Ternyata, tantangan kiki hanya akal akalan saja. Itu hanya trik
pengalih perhatian agar aku cepat cepat mengerjakan pr, dari pada menangisinya.
Aku harus berterima kasih padanya kapan kapan.
“oke, karena vhika berhasil mengerjakannya dengan
cepat. Kiki percaya kalau vhika pintar.”
“ini Cuma akal akalan kiki, kan?” tanyaku.
“apa? Vhika ngomong apa, sih. Iki gak mudeng.”
“itu, kiki nantangin vhika buat ngerjain ini cepat cepat. Cuma biar aku berenti
nagis, kan?”
“kata siapa? Kiki gak bermaksud seperti itu, kok.”
“iya, pasti iya. Kiki gak mau ngaku aja.”
“enggak, beneran deh.”
“ih, pasti ya. Kiki kaya gitu.” Saking gregetnya au sama kiki. Tanpa sadar ku
jambak rambutnya erat erat. Sampai meringis kesakitan. Disuruh jujur susah
banget sih.
“ngaku nggak. Kalo gak mau ngaku rambutnya tak jambak terus.”
“iya, iya. Cepet rambutnya delipas vhika. Kiki sakit nih.”
“gak mau. Kiki ga ikhlas jawabnya.”
“astaga, aku harus gimana.”
“jawab kalau, kiki tadi memang mengalihkan perhatian vhika.”
“iya.”
“tuh kan gak ikhlas jawabnya.”
“vhika, nanti kiki mau beli lollipop sama es krim, mau?” seketika itu juga
rambut kiki kulepaskan.
“mau. Tapi dua dua, ya. Lolipopnya dua yang besar terus es krimnya juga dua.”
“oke.”
Keributanku dengan kiki ternyata cukup menarik
perhatian teman sekelas. Cukup juga membuat semua anak menatap kami jengkel.
Ternyata, sehebat itu kami. Sampai tanpa repot repot mencari muka. Dengan
sendirinya langsung jadi pusat perhatian.
“rhavika magenta, kiki nevhian. Bisa bu guru
lanjutkan mengajarnya?” dan kami hanya membalas dengan senyum tak jelas.
“iya, bu. Maafkan vhika sama kiki karena sudah berisik.”
Dan pelajaran pun dilanjutkan kembali. Lima menit
pertama. Kelas masih tenang terkendali. Semuanya diam seolah olah memperhatikan
dengan serius. Padahal nyatanya hanya beberapa anak yang
memperhatikan.selebihnya, ada yang sibuk mencoret coret gak jelas, ada yang
serius menggambar pemandangan dua gunung lengkap dengan sawahnya dan jangan
lupakan matahari yang tersempil di antara gunung itu, selebihnya sibuk mengupil
setelahnya dicampakkan dibawah meja. Sedangkan aku, sibuk menoleh kesana kemari
mencari pelaku yang baru melempariku dengan kertas. Siapa sih yang iseng waktu
lagi pelajaran kaya gini. Kurang kerjaan banget. Dan disana, ku dapati azhiel
melambai kearahku.
Namanya azhiel febrian. Dia teman sekelasku. Sama
seperti kiki nevhian, arah jalan pulang kami sama. Dan sesuai apa yang
kukatakan diawal. Kalau aku tidak akrab dengan teman sekelas, apalagi lawan
jenis. Maka, ketika secara kebetulan kami pulang bersama, jangan harapkan ada
pembicaraan diantara kami. Diluat sekolah kami bahkan lebih asing. Hampir
mendekati seseorang yang tidak saling kenal malah. Dan kau tahu? Kiki bahkan
bisa disebut teman pertama dikelas yang sering kuajak ngobrol. Lainnya jarang,
mendekati tidak pernah.
“vhika, lagi apa sih.” Tanya kiki yang mulai hari ini duduk sebangku denganku,
saat kutanya kenapa dia begitu ngotot duduk sebangku denganku. Dengan penuh
percaya diri dia menjawab ‘kita kan teman dekat jadi harus selalu bersama.’ Ana
ini benar benar. Dengan perdebatan panjang, akhirnya kiki berhasil mengusir
etta dari tempatnya.
“tadi, ada yang melempar kepala vhika dengan
kertas.”
“siapa? Dia nakal? Kalau iya, biar nanti iki cubit biar nangis.”
“enggak, kok. Dia enggak nakal. Tuh dia aja lagi dadah dadah ke aku.” Lalu,
kiki menoleh kesumber topic pembicaraan. Dan azhiel masih melambai dari sana.
Iki membalas melambai setahuku sih, kiki dan azhiel memang cukup dekat. Jadi,
gak kaget kalau mereka saling membalas sapaan.
Tanpa terasa, bel pertanda istirahat sudah berbunyi.
Serempak tanpa dikomandoi, semua anak segera pergi ke kantin. Atau malah pergi
bermain dihalaman belakang. Hingga yang tersisa kini tinggal aku, kiki, dan
azhiel diujung sana. Sempurna anak anak keluar kelas. Azhiel langsung melangkah
menuju kami. Cuup saling melempar senyum untuk menyambut kedatangannya. Yang
tentu saja senyumku pasti terlihat tidak ikhlas.
“hai, aku azhiel. Nama panjangnya azhiel febrian.”
“aku tahu, kamu lupa kalau kita sudah sekelas selama tiga tahun?” ketusku. Dua
detik kemudian, cubitan yang amat menyakitkan, hinggap dilengan kiriku. Dan
kiki nevhian lah pelakunya. Kiki mengulurkan tangan azhiel yang kuabaikan.
“hai, aku kiki nevhian. Dipanggil kiki. Baru pindah ke sekolah ini minggu
kemarin. Yang disampingku namanya vhika. Nama panjangnya rhavika magenta. Dan
dia anak perempuan tercengeng dikelas ini.”
“hei, vhika tidak cengeng.” Semprotku.
“iya, kamu cengeng.”
“enggak, aku anaknya tahan banting. Coba aja dibanting, pasti vhika gak bakal
pecah.”
“belum juga dibanting, vhika udah nangis dulu.”
“masa, enggak tuh.”
“iya, kamu cengeng kaya bayi.”
“berarti aku imut dong.”
“imut dari mana coba.”
“bayi, kan masih imut. Gak kaya kiki amit amit.”
“kok, jadi ngatain kiki, sih.”
“siapa yang ngatain.”
“vhika.”
“engak. Vhika gak ngerasa abis ngatain.”
“aku pergi, deh. Dari pada dicuekin berantem.” Sela azhiel diantara perdebatan
konyol aku dan kiki. Memangnya siapa suruh dia kesini? Batinku. Dasar tamu tak
diundang. Aku, dengan tampang tak peduli. Kiki, dengan wajah tersenyum penuh
rasa tak enak hati. Dia terlalu peduli.
“kalian akrab sekali kelihatannya.” Ucap azhiel.
Karena aku ataupun kiki taka da satupun yang berniat untuk memulai percakapan.
“tidak begitu.”
“ya, begitulah.” Jawab kami bersamaan. Spontan menoleh, melihat satu sama lain.
Lalu, setelah sekian detik berekspresi sesuai keinginan masing masing. Aku
dengan dengusanku. Dan kiki dengan tawanya. Sangat bertolak belakang jika
dilihat lihat.
“kami memang dekat.” Ini anak korek yang bicara.
“tapi, aku tak pernah merasa kalau kita dekat.”
“iya, kita dekat. Sudah sangat akrab.”
“jangan memaksaku. Vhika tidak suka.”
Kiki tak lagi membalas ucapanku. Aku jadi tak enak,
apa aku terlalu kasar ya tadi waktu mengucapkannya. Benci perasaan bersalah
seperti ini.
“aku juga mau berteman dengan kiki dan vhika.
Bolehkah?” Tanya azhiel dengan penuh harap. Belum keluar suaraku dari
tenggorokan. Kiki sudah terlebih dahulu menjawab.
“tentu saja. Kita berteman akrab sekarang. Dan kau tadi salah bertanya pada
orang. Seharusnya kau jangan bertanya pada anak cengeng ini.”
“kenapa?” tanyanya heran.
“karena, ku tebak vhika pasti akan menjawab seperti ini ‘aku tak mau punya
teman sepertimu’ soalnya kemarin aku juga ditolak seperti itu. Tapi, tak
kuhiraukan.”
“benarkah?” Tanya azhiel sambil terkekeh dan kisah pertemanan penuh paksaan
antara rhavika magenta dan kiki nevhianpun meluncur lancer dari mulut ember
bocornya.
Dari awal saat dia memberiku jepit rambut hadiah
jajanan snack, berlanjut dia yang menungguiku sendirian dikelas, demi
mengajakku berteman. Awalnya, katanya dia kaget dengan jawaban yang kuberikan
atas permintaan pertemanannya. Semua itu diluar perkiraannya. Dia piker aku aku
akan senang hati menerima pertemanannya, lalu hubungannya akan berjalan mulus
kedepannya. Jangan harap. Dengusku. Dia bisa berkata seperti itu karena tak
tahu, seberapa ketusnya diriku. Untuk beberapa waktu kedepan, kupastikan dia
pasti aka nada saatnya menyesali permintaan pertemanannya. Biarkan saja. Nanti
dia juga sadar sendiri.
Ditengah pembicaraan hangat antara kiki dan azhiel. Aku menyela dengan berkata
seperti ini.
“kiki jangan lupa janjinya sama vhika.”
“memangnya kiki pernah janjiin apa sama kamu?”
“belum juga lima menit. Janjinya udah dilupain. Apalagi kalau vhika pergi
nanti, pasti kiki gak bakal mau nunggu vhika pulang.”
“vhika mau pergi kemana? Jauh?” Tanya kiki serius. Ada apa dengan anak ini,
serius sekali.
“kata siapa aku mau pergi?”
“tadi, vhika bilang. Katanya kalau vhika mau pergi nanti.”
“kalau, kan? Berarti belum tentu iya.”
“berarti vhika gak bakalan pergi,kan?” Tanya azhiel.
“mana tahu, siapa tahu besok vhika diajak ibu ke pasar.”
***
Kami berjalan bersisian dalam perjalanan menuju
kantin. Dengan posisiku yang tentu saja berada ditengah tengah, dengan alas an
karena akukan perempuan. Jadi, mereka-kiki dan azhiel. Harus berjalan dikedua
sisiku. Agar aku tidak diganggu, oleh anak laki laki yang suka jahil. Vhika
bukannya percaya diri atau apa.
Memangnya apa salahnya sih berjaga jaga. Ibuku
bilang kalau aku itu perempuan cantik, jadi harus hati hati.
“vhika mau lolipopnya dua. Biar yang satu entar dimakan dirumah waktu belajar.
Terus jangan lupa sama es krimnya juga. Vhika maunya rasa stoberi sama vanilla.
Pasti enak.”
“iya, nanti kiki beliin.”
“nanti pulang sekolah main bareng, yuk.” Ajak azhiel bersemangat.
“tapi, vhika pasti gak dibolehin sama ibu. Mending main kerumah vhika aja.”
“aku sih terserah. Yang penting disana jangan diajakin belajar. Kiki malas
belajar.”
“azhiel juga. Kita main dirumah vhika. Tapi, vhika gak boleh ajak azhiel sama
kiki buat belajar. Bosen belajar mulu.”
“tapi, kan. Vhika suka belajar.”
“ya, itukan vhika. Bukan kita.”
“vhika sebel sama kalian. Soalnya gak ada yang mau diajakin belajar bareng.”
Kulangkahkan kaki dengan cepat. Demi meninggalkan
mereka yang masih terus saja membuntutiku kemana mana. Aku gak mau main sama
mereka. Mereka kan laki laki, jadi nanti dirumah, pasti minta main bola. Aku
kan gak bisa. Nlucu juga lari lari pakenya rok renda selutut. Konyol. Pokoknya
vhika gak mau.
“yah, ngambek dianya.”
🦌🦌🦌🐾
Kujilati
es krim dua cup ku dengan ekspresi penuh kenikmatan. Dua orang didepanku-kiki
dan azhiel. Menatapku penuh ingin. Dalam hati aku tertawa penuh kemenangan.
Inilah balasanku wahai kawan. Karena, tak mau kuajak belajar bersama. Padahal
aku ingin. Sadar bahwa mereka menatapku sambil menahan liur. Aku semakin
berekspresi bahwa es krim ini benar benar enak. Padahal lidahku sudah mati rasa
kedinginan. Karena, saat ini aku sudah beralih es krim yang kedua.
"apa
kau tidak ada keinginan untuk berbagi dengan kami berdua, vhika? Aku tahu kalau
vhika pasti kekenyangan. Soalnya, mulutmu kan kecil." Azhiel bertanya.
"tidak, aku tidak kenyang. Ini justru seharusnya azhiel juga membelikanku
es krim untukku."
"kenapa juga aku harus membelikan, vhika?"
"karena, kita berteman." Jawabku enteng.
"tapi, walaupun kita berteman. Aku tetap tak ingin membelikanmu."
"dasar pelit."
"kau saja yang rakus. Sudah dapat dua, masih minta tambah. Gak mau bagi
bagi lagi."
"apa kau bilang? Aku rakus?
"iya, rhavika magenta anak perempuan paling rakus dikelas."
Kesal dengan azhiel. Kutempelkan saja sisa es krimnya ke wajah
azhiel. Biarkan dia menjerit. Satu sisi karena dingin, satu sisi lainnya karena
kaget kuserang tiba tiba. Alhasil, salah satu sisi wajahnya belepotan es krim
karena aku. Kiki yang sedari diam pun kini sedang tertawa terbahak. Membuatku
semakin kesal saja.
"makan
tuh es krimnya, azhiel. Kau sedari tadi memang ingin kan?" setelah berkata
seperti itu tawa kiki semakin keras tak terkendali. Hingga aku khawatir, dia
tidak bisa berhenti tertawa nanti. Berbanding terbalik dengan kiki, azhiel
malah sedang sibuk menggerutu sambil tangannya mencoba membersihkan wajah dari
sisa es krim.
"salah
siapa mengataiku rakus. Makanya dikasih hukuman sama Tuhan."
"ini bukan hukuman dari Tuhan, tapi dari kau. Diledek seperti itu saja
tidak tahan."
Bicara soal Tuhan. Kalian pasti tak lupa berdo'a setelah
sholat,kan? Biasanya kalian berdo'a apa? Minta permen? Pergi ke alun alun demi
esta tahun baru? Atau apa? Kalau aku, mintanya gak banyak banyak. Cukup dengan
ibu sehat, aku anak yang cantik dan pintar, rumah yang besar, uangnya banyak,
punya tambang emas, temannya banyak, kalau besar jadi orang sukses. Hanya itu
permintaanku. Tak banyak, kan?
"kalian
kalau berdo'a biasanya minta apa sama Tuhan?" tanyaku. Kiki yang pertama
menjawab.
"aku biasanya minta nilai ulangan seratus."
"aku bingung gimana caranya berdo'a, kalian mau mengajariku?" timpal
azhiel. Spontan ku arahkan pandangan kepada kiki. Yang dipandang tidak sadar
sedang dipandang, dasar.
"jangan mintabantuanku, tanyakan saja pada vhika. Dia kan cerewet sekali.
Dikit dikit mengadu pada Tuhan, manja sekali."
"kenapa kalian suka sekali mengataiku, sih." Keluhku. Tadi rakus,
sekarang suka mengadu, besok apa lagi?
"kita kan teman." Jawab kiki dan azhiel serempak. Kalau sudah seperti
ini, memangnya aku harus jawab apa? Diam adalah pilihan jawaban yang terbaik.
Es krim habis sedari tadi, lollipop kusimpan untuk kumakan nanti
dirumah, kiki dan azhiel sedari tadi, dikantin memilih untuk tidak membeli
apapun. Malah lebih suka memandangiku makan es kri, sambil menahan air liur
yang berulang kali mencoba keluar. Apa maksudnya coba?
"ayo,
kembali ke kelas. Sebentar lagi masuk pelajaran." Ajaku.
"tapi, aku lapar."
"kiki juga, vhika sih pelit, gak mau bagi bagi es krim."
"vhika gak pelit."
"iya, vhika gak pelit. Tapi gak suka bagi bagi."
"itu sama aja, azhiel." Kulirik azhiel dengan malas. Azhiel hanya
nyengir gak jelas. Kiki menatap malas kami berdua, dengan menopang dagu diatas
tangannya. Seolah olah jika dilepas, kepalanya akan langsung jatuh hancur.
"lagian, salah siapa juga, kiki sama azhiel pake gaya gak mau beli jajan
disini. Akhirnya, jadi kelaperankan? Ya udah terima dong."
"ya udah. Kamu ngomongnya jangan kepanjangan, dong. Telinga ku sakit
dengernya, dong." Kiki mengomel. Azhiel tepuk tangan. Tertawa terbahak
malah anak lahiran Rahim ini. Kenapa menyebalkan sekali?
"kiki diem, dong."
"ya dong ya dong."suara azhiel tambah keras, membuat kiki semakin
gencar meledekku.
"kiki diem gak? Vhika ngambek nih." Ancamku.
"ya gak ya gak, gagak." Suara azhiel sudah naik satu level. Baiklah,
mereka yang minta. Cukup sudah, aku tak tahan lagi. Tak taha untuk melempar
mereka ke kutub utara. Biar mereka beku sekalian disana. Biar gak ada orang
menyebalkan seperti mereka lagi. Dan, yang penting. Biar dunia gak hancur
karena mereka berisik sekali.
Tanpa aba aba. Kugebrak meja keras keras. Hingga membuat anak anak
sekantin terlonjak kaget. Terlebih dua anak yang duduk didepanku, mulut mereka
sampai melongo lebar lebar.
"jantungku meledak." Ucap kiki sambil memegangi dadanya.
"telingaku berdenging." Timpal azhiel.
"kalian berdua lebay sekali."
"kau kenapa. Sih? Pake acara pukul meja segala. Gerutu kiki.
"salah siapa kiki nakal."
"siapa yang nakal? Aku? Tdak."
"iya."
"memangnya, vhika aku apakan?"
"kiki meledekku."
"astaga. Kau kenapa susah sekali diajak bercanda, sih?"
"kiki dan azhiel kan hanya meledek. Gak selamanya meledek itu nakal. Ya,
kan? Kiki" Tanya azhiel pada kiki. Yang dibalasnya dengan anggukan keras.
Pertanda membenarkan apa yang baru saja diucapkan oleh azhiel. Tapi, menurutku.
Meledek model apapun ya tetap aja meledek. Nakal. Vhika gak suka.
"pokoknya nakal."
"enggak, vhika. Kamu harus bisa bedain mana yang bercanda mana yang
beneran. Biar vhika gak salah paham." Kki mencoba pengertian.
"vhika, bisa bedain kok."
"tapi, kenapa tadi vhika marah? Kan tahu, kiki sama azhielcuma pengin
becandain vhika doing. Biar vhika seneng."
"tapi, vhika gak seeng."
"kan niatnya kita nyenengin." Azhiel membela.
"tapi, vhika gak seneng."
"iya, ya udah maafin kiki sama azhiel ya, vhika. Udah bikin vhika gak
seneng."
"vhika juga gak suka kiki ngomong kaya gitu ke vhika."
"kamu maunya apa, sih?"
"es krim."
"kamu abis dua kalo lupa. Dan gak mau bagi bagi."
"kan itu es krimnya vhika."
"iya, vhika paling bener."
"nah, itu kiki tahu." Azhiel dan kiki menepuk dahi bersamaan. Lucu,
ya. Kok mereka kompaka gitu.jadi, kaya anak kembar.
***
Pulang denan muka kusam kumal. Rambut yang sudah tak lagi rapi.
Seragam kena debu, campur keringat, bau apek. Kaos kaki sudah tinggi sebelah,
dan jangan lupakan dengan cara berjalanku yang sudah menyerupai nenek bungku
upin ipin. Penampilanku sudah mencapai batas terendah untuk perempuan cantik
dan pintar sepertiku. Untuk [ertama kalinya aku menyesali kamarku yang berada
diujung lorong sana. Aku benar benar ingin cepat cepat mengganti seragamku
dengan baju motif bunga matahari milikku-aku membelinya tahun baru kemarin.
Karena, seragam ini benar benar. Bisa kubayangkan betapa menyegarkannya ketika
air yang segar menyiram kuyup tubuhku yang penuh keringat ini. Membuat segala
penat hilang begitu saja. Tak tersisa, tak berbekas. Aku jadi berpikir, betapa
menyenangkannya jika aku punya baling baling bamboo milik doraemon. Cukup satu
saja. Pasti amat menyenagkan. Aku bisabermain ke taman dekat rumah tanpa harus
bersusah payah melangkahkan kaki kesana. Aku bisa pergi ke belanda tanpa pake
pesawat. Gak perlu ngasih makan pake bensin. Yang membuatku ingin kebelanda,
kata ibu disana ada kincir angina yang besar. Sedangkan kincir angina sama
baling baling bamboo punya doraemon kan hamper sama Cuma ukurannya yang beda
jauh.
"selamat
datang vhika." Sambut ibuku dari arah dapur, setelah membalas salam yang
kuucapkan. Sepertinya ibu sedang memasak. Soalnya bau makanannya lezat. Jadi
lapar.
Kubuka pintu kamar lebar lebar. Hingga membuat sebagian dinding
dalamnya kelihatan. Dinding kamarku berwarna abu abu muda dengan pink baby.
Dominan abu abu. Khas perempuan sekali. Soal warna cat kamar, sepenuhnya
menjadi keputusan ibuku. Katanya, warnanya harus feminism. Soalnya, aku kan
perempuan. Jadi, harus warna yang manis. Untung ibu tak tahu warna keinginanku.
Kalau tahu warna hitam yang kuinginkan. Aku pasti akan menghawatirkan kesehatan
telingaku.
Kulempar tas kesembarang arah. Hingga, menimbulkan suara bedebum
yang lirih. Setelahnya, kulempar diti sendiri kearah tempat tidur. Ah! Ini
adalah tempat terbaik untuk diriku. Andaikan saja aku diperbolehkan seharian
berbaring disini. Pasti aku akan menjadi anak paling beruntung. Karena,
mendapatkan tempat super nyaman ini. Dengan posisi tidur yang melintang, kupandang
langit langit kamar yang penuh dengan bintang yang ibu petik disupermarket. Itu
yang ibu katakan padaku. Sebenarnya, aku sedikit meragukannya. Tapi, pantang
bagi ibu untuk berbohong.
"vhika,
sudah ganti baju belum?" Tanya ibuku dari luar kamar. Memangnya ibu sedang
masak apa, sampai siang begini belum selesai.
"belum." Balas teriakku tanpa mengubah posisi sedikitpun. Aku benar
benar tak rela kalau sampai kenyamanan ini hilang saat ini.
"cepat ganti baju. Setelah itu sholat, baru boleh makan."
"iya."
"jangan Cuma iya iya. Cepat bangun, ibu tahu kamu masih tiduran."
Aku memang ditakdirkan menjadi anak baik baik. Bangkit dari kasur,
serasa separuh pikiranku tertinggal disana. Oh! Inikah yang dinamakan cinta?
Seperti yang dikatakan kakak kakak SMA itu? Katanya, kalau cinta itu tak rela
berpisah. Kalau dipisahkan pasti rasanya separuh hatinya akan selalu tertuju
pada orang yang disukai.
Dengan malas kuganti dengan baju motif bunga matahariku yang
cantik. Setelahnya, bergegas menuju kamar mandi untuk berwudhu. Karena aku mau
sholat. Kata ibu. Kalau aku mau sholat pakaian, tempat, sama badannya harus
bersih. Katanya, biar gak malu ketemu sama Tuhan. Kalo dipikir pikir bener
juga, sih. Mau ketemu teman pake baju kotor saja malu, apalagi dengan Tuhan?
Selesai beribadah, aku berdo'a
"aku ingin ibuku sehat dan cantik selalu. Uangnya banyak biar ibu gak
capek kerja. Terus, vhika jadi professor, aamiin." Kutangkupkan kedua
telapak tanganku kearah wajah. Setelahnya secepat kilat kulepaskan mukena yang
baru saja kupakai. Saking terburu burunya tanpa sengaja aku menubruk pinggiran
pintu. Karena, tidak sengaja tersangkut mukena. Yaampun, dahiku sakit sekali.
Aku pengin nangis tapi malu sama ibu. Kurasakan pandangan mataku yang mulai
mengabur karena genangan air yang menumpuk dimata. Vhika kuat, makanya kalo
dibanting gak bakal hancur. Masa Cuma karena kaya gini nangis. Cemen. Ucapku
dalam hati mencoba menyemangati diri sendiri. Padahal nyatanya napasku mulai
tersengal sengal menahan tangis.
"dahimu kenapa, vhika?" Tanya ibu saat aku sampai di dapur. Aku hanya
menatap dengan nanar. Tak berniat sedikitpun untuk menjawab. Karena, aku
yakin tangisku pasti akan pecah kalau menjawabnya. Jadi, lebih baik diam saja.
"vhika."
Terdengar suara cempereng memanggilku dari luar rumah. Memangnya siapa temanku
yang mau berteman denganku? Kebanyakan dari mereka tidak tahan dengan sifat
jutekku. Atau mereka hanyalah anak yang tersesat saat pulang, seperti anak
kucing? Entahlah aku tak peduli.
Ibuku sudah berjalan menuju ruang depan, demi melihat siapa anak
yang memanggilku. Kudengar suaranya seperti mempersilahkan seseorang untuk
masuk kerumah.
"halo,
vhika. Kata ibumu kau habis menangis." Ternyata anak korek api yang
bertamu. Lagi lagi aku melupakan kalau kami sudah mengikrarkan persahabatan,
maafkan aku kawan. Salah siapa kenapa jadi anak mudah sekali untuk dilupakan.
"aku
tidak menangis."
"aku kan kata ibumu. Tidak mungkin aku dibohongi."
"mataku hanya berarir. Vhika tidah menagis."
"kiki pikir, kau benar benar menangis."
"kenapa kiki begitu menginginkanku menangis."
"kiki punya permen."
"vhika mau."
"tapi, kiki beli ini buat vhika yang nagis. Ternyata, tidak. Aku mau
kembali ke penjual tadi. Permennya mau kujual."
"vhika nangis kok."
"tadi, katanya enggak."
"sekarang nangis." Lalu, aku berpura pura menangis. Demi mendapatkan
sebuah permen harga lima ratusan.
"karena vhika nangis. Ini berarti buat vhika." Ucap kiki sambil
menyodorkan permen kearahku. Yang pastinya dengan senang hati kuterima, lalu
segera tenggelam dimulutku.
"kiki sudah makan?" Tanya ibuku saat sudah selesai masak.
"belum."
"kalau begitu, ayo makan bersama. Ibu memasak sup brokoli dan sambal
kesukaan vhika. Kamu pasti suka."
"masakan ibuku nomor satu, diantara para pedagang bakso dikota ini."
Ibu melirikku sebal. Aku salah memuji, ya? Mungkin begitu. Tapi sudahlah.
"pasti enak. Kiki jadi lapar, ayo makan." Ajak kiki. Ini apa hanya
perasaanku saja yang merasa kalau seolah olah anak sebesar sendok inilah tuan
rumahnya.
Semua orang makan dengan lahap. Tak terkecuali anak kecil itu. Dia
bahkan sudah nambah satu kali, memangnya perutnya terbuat dari apa si. Kenapa
bisa muat makanan banyak sekali. Perutnya kecil, tapi seperti kantong ajaib.
Semua bisa masuk tanpa terkecuali. Dia benar benar lapar atau rakus?
"vhika ambil sayurnya yang banyak, kiki juga."
"sambalnya jangan diambil semua, vhika. Nanti sakit perut."
"vhika mau nambah lagi? Kiki aja nambah."
"makanannya jangan buat mainan, vhika. Lihat kiki makannya lahap
sekali."
Apa
harus semua yang kulakukan di banding bandingkan dengan kiki? Aku dan dia kan
berbeda. Aku perempuan, dia laki laki. Aku pakai rok renda, dia pakainya celana
jins pendek. Jadi, kenapa harus disamakan? Aku tak percaya ini.
"kiki,
azhiel mana? Katanya kau mau main kesini berdus dengannya."
"mana kutahu? Aku kan bukan ibunya."
"tapi, kau temannya."
"teman bukan tuhan, vhika."
"siapa bilang teman itu Tuhan?"
"enggak ada." Balas kiki.
"ya udah, tapi Tuhan teman kita. Terus apa sih maksudnya?"
🐂🐂🐂
Menungu
kedatangan azhiel yang tak kunjung berwujud. Akhirnya, kami bertiga-vhika,
kiki, dan ibu. Memilih untuk duduk bersantai didepan tv untuk menonton bersama.
Salah, bukan seperti itu katanya. Tapi, kami sama sama ditonton oleh tv.karena,
dari kami bertiga tidak ada satupun yang berniat untuk menonton. Obrolan kami lebih
menarik intuk diperhatika. Ibuku lebih memilih duduk diatas karpet, dengan
bersandar pada sofa yang ada dibelakangnya. Sesekali digerakannya punggungnya
demi mencari tempat ternyaman untuk bersantai. Dengan diriku yang duduk
disisinya sambil bergelayut manja. Kiki lebih memilih duduk bersila didepan
ibu, mungkin dia merasa sungkan jika harus berposisi sepertiku. Sukurlah, aku
jadi merasa tidak tersaingi.
“bu
tahu tidak? Vhika tadi disekolah dibelikan es krim sama kiki.”
“wah, kiki baik sekali.”
“iya, dong ibunya vhika. Makanya, kiki temannya banyak.” Kata kiki sambil
melirik kearahku. Apa apaan dia? Menyindirku tak punya teman? Enak saja.
Temanku juga banyak kok sekarang. Ada dua. Kiki nevhian sama azhiel febrian.
Tiga kalo ibu masuk dalam hitungan. Apalagi kalo orang seperti mereka-kiki dan
azhiel maksudnya. Bisa dihitung untuk dua orang, menurut kadar keberisikan yang
bisa mereka keluarkan.
“vhika,
juga baik. Temannya banyak.”
“saking baiknya, es krim dua dimakan semua.” Sindir kiki. Anak ini kenapa suka
sekali mengadu pada ibuku?
“itukan es krimnya vhika.” Belaku.
“tapi, yang beliin kiki.”
“kiki belikan buat vhika. Masa diminta.”
“kiki kan juga pengen makan es krim.”
“kenapa gak beli sendiri.”
“uangnya habis buat es krimnya vhika.”
“siapa suruh beliin vhika.”
“gak usah ngomong kaya gitu, vhika. Kiki beliin kamu toh kamu seneng seneng
aja.” Sela ibuku. Yang mulai bosan dengan pertengkaran anak kecil dihadapannya.
“iya, sih.”
“udah diem, ah.” Putus ibuku.
“bu, kenapa sih vhika harus sekolah? Padahalkan vhika bisa belajar sama ibu.”
“kamu butuh sosialisasi, vhika.”
“solasi, apa?”
“sosialisasi, vhika. Kenapa kau jadi mendadak bodoh seperti ini sih?”
“diam kau anak apel.” Semprotku kepada kiki. Menurutku, kiki itu terlalu
banyak menonton film kartun. Makanya, tidak bisa membedakan antara kehidupan
nyata dalam dan dalam film. Disana, kalo di tv pasti akan diceritakan bahwa
pada masa masa seumuranku, adalah masa terindah. Sesuatu yang patut untuk
selalu dikenang dipikiran. Sampai aku harus selalu mengingatnya sampai jadi
nenek tua renta. Padahal, menurutku justru sebaliknya. Dikehidupan nyata masa
kanak kanak itu sangat membosankan. Aku tak tahu persis, apa yang bisa
membuatku berpikir seperti itu. Tapi, percayalah aku benar benar ingin
mempercepat segalanya. Mempercepat semuanya selesai jauh sebelum waktu
seharusnya. Seperti keinginanku untuk lulus tahun depan. Padahal sekarang aku
baru kelas 3 SD dan masih tahun ajaran baru. Andaikan anak SD bisa seperti anak
anak besar. Yang kata bu guru sekolahnya bisa dipercepat dari yang
seharusnya-namanya akselerasi ngomong ngomong. Aku pasti akan senang. Dan tidak
mati kebosanan karena hidupku dihabiskan disekolah dasar.
“kenapa
vhika butuh sosialisasi? Kan ibu pernah bilang. Kalo vhika belajar itu biar
pinter, bukan buat sosialisasi.” Tanyaku heran. Sebenarnya mana yang benar?
Ibuku ini kenapa kalo bicara kadang kadang tidak setia menurutku. Maksudku, ibu
sering kalli menasihatiku dengan alasan yang selalu berbeda.
Contohkan
saja, ketika aku mogok makan ibu pasti akan selalu membujuk. Poin pertama yang
membuatku berpikir kalau ibu tak setia, ketika dalam membujukku ibu berkata
‘vhika harus makan, nanti perutnya sakit, pernah berkata seperti ini ‘vhika
harus makan, kalau gak mau nanti perutnya jadi buncit’ dulu aku memang sebodoh
itu untuk ditipu. Poin kedua, orang tua selalu benar dan aku yang salah.
Ainilah alasan yang membuatku kadang malas berbincang dengan orang yang lebih
dewasa dariku. Bukan karena apa. Tapi aku tidak suka saja kalau omonganku hanya
dianggap angina lalu oleh mereka. Cukup dengarkan, lalu lupakan setelahnya.
Dianggap remeh itu benar benar menyebalkan. Tidakkah mere berpikir, kalau anak
seumuran Sembilan tahun sepertiku sudah cukup bisa berperilaku dewasa? Buktinya
saja, aku sanggup memikirkan bagaimana hasilnya ketika satu tambah satu
jawabannya dua, kan? Aku benar.pasti benar.
“iya,
memang tujuan utamanya. Belajar biar kita pintar. Tapi, dilain itu kamu juga
membutuhkan teman. Agar hidupmu teman. Agar hidupmu terasa menyenangkan. Mereka
juga bisa kamu ajak main, bisa mengerjakan tugas bersama, saling berebut
permen, dan bisa buat main petak umpet. Bukankah, itu sangat menyenangkan?”
“kata siapa? Vhika justru lebih senang tidak punya teman.”
“kenapa vhika berfikiran seperti itu?”
“teman hanya merepotkan vhika saja. Mereka juga berisik, intinya vhika tidak
suka punya teman.”
“nanti kalo vhika sakit siapa yang datang menjenguk?”
“kana da ibu.”
“tapi, ibu kan bukan teman.”
“tapi, vhika Cuma mau ibu.”
“kalo kiki yang datang?” sela kiki diantara percakapanku dengan ibu. Bagaimana
kalo kiki yang datang? Coba kuingat ingat lagi seperti apa anaknya. Pantaskah
dia membuatku senang hanya karena kedatangannya menjengukku? Sepertinya
mustahil. Dia cerewet, aku tidak suka diganggu ketika sakit dengan obrolan recehnya.pasti
akan membuatku tambah pusing saja karena dia orang dengan tipe tidak bisa
berhenti bercerita ketika sudah menemukan topic pembicaraan yang disukai.
Bukannya menghibur justru kedatangannya malah menambah buruk kedaan. Untuk
alasan ini, dia ditolak. Untuk selanjutnya, dia adalah anak laki laki paling
rakus yang pernah kukenal. Perutnya yang kecil itu seperti terbuat dari karet.
Bisa menampumg makanan apapun yang dia masukan kedalam mulut. Mungkin, makanan
satu tong pun bisa dia masukan semuanya tanpa tersisa.
Sedangkan,
teruntuk orang yang menjenguk orang sakit, pasti mereka yang membelikanku buah.
Bukan malah menghabiskannya seperti yang mungkin bisa kiki lakukan saat
menengokku. Untuk kedua kalinya, kiki ditolak. Atas dasar bahwa dia berisik dan
rakus.
“gak
mau.”
“kenapa?” Tanya ibuku heran.
“kiki kan makannya banyak, nanti buahnya habis dimakan kiki.”
“astaga, apa hanya itu yang tersangkut diotakmu vhika?” Tanya ibuku kesal. Dan,
seperti yang kuceritakan. Dari nada ibuku saja sudah terlihat. Aku salah. Dan
ibuku yang paling benar. Tidakkah sekalipun ibu membenarkan perkataanku?
Mungkin kejadiannya bisa dihitung dengan jariku yang kesepuluh, lengkap dengan
kuku panjang yang rajin ibu potong sambil menggerutu. Betapa tidak tidak
feminimnya diriku untuk menjadi perempuan. Dan pada saat itulah mode
penulisan kuhidupkan.
Topic
pembicaran tentang diriku yang tidak suka dijenguk oleh kiki apapun alasannya.
Hanya bertahan satu menit kemudian. Lalu, entah bagaimana ceritanya. Kini kami
sibuk menyebutkan sifat sifat dari ketiga orang ini-aku,kiki, dan ibu. Entah
itu soal kebiasaan buruk ataupun memalukan. Semakin tinggi tingkat
keburukannya, semakin kami bersemangat untuk menyebutkannya satu persatu. Kiki
dengan kebiasaannya yang diam diam suka mengupil, lalu dicampakkannya kepada
teman yang tidak beruntung lewat didepannya. Atau tentang rahasianya yang diam
diam tidak suka berdoa saat makan. Hanya karena alasan takut kenyang sebelum
makan banyak. Hanya orang terlalu pintar yang berpikir seperti itu. Selanjutnya,
tentang ibu yang ternyata paling takut menghidupkan kompor gas, karena takut
kejadian kelam kembali terulang kembali. Ibu berhasil meledakan tiga kompor dan
satu kali hampir membakar dapur. Itu prestasi terhebat. Aku ravhika magenta.
Berada diurutan terakhir untuk penyebutan keburukan pribadi. Ibuku hanya
berkomentar, aku tidak suka berfikir. Hanya itu, tapi kiki justru sebaliknya.
Dia bilang aku pelit (ingat soal aku menghabiskan dua es krim sekaligus?),
jutek, jelek, bodoh (aku tidak percaya ini), dan belum selesai dia meng absen
segala kejelekanku. Aku sudah dulu mencak mencak tidak jelas. Karena, ini dia
akhirnya menambahkan keburukanku tentang bahwa aku anak perempuan paling
pemarah dikelas. Sangat menjengkelkan. Dia tidak sadar apa kalau dirinya sendiri
orang paling menjengkelkan seantero sekolah.
“entahlah, hanya itu alasan yang bisa kupikirkan.” Sambil mengangkat kedua
bahuku. Aku sendiri sebenarnya bingung, apa alasan jelasnya aku tak mau
kehadiran kiki nevhian. Anak seumuranku yang katanya punya banyak teman, dan
selalu baik dengan orang lain. Bahwa dia mencoba menerobos tembok yang kubangun
tinggi tinggi. Tentang dia yang ingin menjadi temanku. Sesederhana itu.
🦅🐍🐿
Rumahku kembali sepi setelah kepulangan kiki
beberapa saat lalu. Tidak ada lagi cerita recehnya yang kadang membuat ibuku
tertawa. Tak ada lagi celetukan tanpa proses otaknya, yang sering kali
membuatku kesal setengah mati. Tak ada lagi wujudnya yang melihatnya pun
membuat ku muak. Kadang kali aku berfikir, apa sih yang sebenarnya aku
inginkan? Aku tak tahan dengan keramaian, tapi aku juga benci suasana sepi.
Lalu, bagaimana?
Tiba tiba hujan turun. Kutatap langit yang tampak
mendung dan bersih dari awan. Biasanya kalo lagi menyendiri, aku suka sekali
menyeret kursi kedekat jendela yang ada dikamar. Untuk mengamati awan awan yang
berjalan pelan diatas. Sesekali berfikir, awan punya kaki gak ya, kaya vhika?
Kok bisa jalan. Yang ini bentuknya kaya kelinci, yang ini bentuknya kaya sapi.
Awannya kaya gula gula kapas. Awannya lagi sedih kayanya makanya warnanya
kusam. Kadang, juga sempet kepikiran. Vhika bisa gak ya kesana? Terbang pake
apa? Kan gak punya sayap. Masa mau naik pesawat? Kasian ibu buat bayarin.
Pesawat mahal. Kalaupun emang mau naik pesawat keatas, emang disana ada
bandara? Kan kata bu guru, kalo kereta rumahnya di stasiun, bis di terminal,
nah kalo pesawat rumahnya dibandara. Ada gak diatas sana? Berhubung langitnya
lagi mendung, jadinya awan tak terlihat satu pun. Akupun menghela napas. Bosan.
Kalo ada yang nemenin pasti enak. Asik. Tapi, mau ngobrol sama siapa?
Bukannya mereda, hujan justru turun makin deras. Aku
menghela napas. Benar benar bosan. Karena, hembusan napasku. Kaca yang berada
tepat didepanku mengembung. Disamping juga karena udara dingin karena hujan.
Dingin. Saat kusentuh dengan ujung jari telunjukku. Kalo seperti ini aku jadi
berfikir. Sepertinya akan lebih menyenangkan kalau kiki belum pulang. Rumah
tidak akan sesepi ini. Ibu entah dimana, mungkin sedang didalam kamar, terlelap
dalam gelungan selimut tebal. Menonton tv pun percuma, hanya berisik karena
suara siaran yang sedang tayang. Sedangkan, aku tetap mati kebosanan karena
tidak ada satu orang pun yang bisa kuajak bicara.
Seketika angin kencang menerpa wajahku saat membuka
pintu depan. Membuatku sedikit menggigil. Tentu saja. Aku hanya mengenakan kaos
kebesaran berwarna putih, dengan rok lipit berwarna coklat susu selutut sebagai
bawahannya. Masih untung aku memakai kaos panjang. Bagaimana kalau tidak? Aku
pasti akan mati membeku karena kedinginan. Ragu ragu kulangkahkan kaki
kepelataran rumah yang basah karena rintik hujan. Ini untuk pertama kalinya aku
akan bermain hujan hujanan. Jadi, ada sedikit kekhawatiran kalau kalau aku
nanti akan jatuh sakit, hingga membuatku tertinggal pelajaran yang berujung
membuat nilai raporku merah. Dan akhirnya aku tidak masuk kelas. Benarkah
semengerikan itu? Kugelengkan kepala. Ayolah! Ini hanya hujan, toh juga tidak
akan lama lama. Jadi, tidak usah takut. Dari pada aku mati kebosanan memandangi
hujan dari samping jendela. Lebih baik aku melakukan sesuatu. Pikirku.
Awalnya langkahku masih kaku. Sedikit ragu, karena maklumlah ini pengalaman
pertamaku hujan hujanan. Tapi kurasa bermain hujan tak semengerikan dengan apa
yang kupikirkan awalnya. Aku bisa melihat bulir bulir air yang meluncur dari
atas jika mendongak. Tetesan yang menggantung diujung daun walaupun akhirnya
harus rela jatuh digenangan. Bersama tetes yang lain. Tanpa disadari hatiku
terasa ringan. Amat ringan. Tidak lagi merasa bosan. Ini benar benar
menyenangkan. Kenapa tidak dari dulu kucoba? Batinku sambil melompat lompat
kegirangan. Jika dilihat, kelakuanku amatlah norak. Tapi, siapa peduli? Selama
diriku bahagia, dan perdamaian dunia terjaga. Semuanya berarti baik baik saja
menurutku. Maka persetan dengan kelakuan kekanakanku. Hujan terus saja turun
deras. Hingga mau tak mau bajuku basah kuyup. Kupandangi kedua kaki pucatku,
lalu mulai melepas sandal yang kupakai. Bakal lebih menyenangkan kalau
bertelanjang kaki. Tekstur tanah yang basah dan dingin menyapa. Menyenangkan
sekali hujan hujanan. Terpujilah untuk ibuku yang cantik karena memilih tidur
lelap dikamarnya. Hingga, aku bisa bermain disini.
Kebebasan ini, kesenangan ini seutuhnya milikku. Sebelum semuanya musnah
seketika ketika seseorang menepuk bahuku dari belakang.
:)
“hai, vhika.” Sapa azhiel. Senyumku seketika itu
pudar. Lenyap entah kemana. Pergi seolah tak pernah ada keberadaannya.
“vhika, ngapain hujan hujanan?”
Kuedarkan arah pandanganku kesekeliling. Berada dipinggir jalan raya yang
tergenang dimana mana. Berwarna coklat pekat, dan terkadang meluber kemana mana
seperti terkena tsunami jika dilewati ban kendaraan yang berlalu lalang.
Ternyata, sudah sampai sini. Batinku. Tidak jauh sebenarnya, tapi cukup membuat
rumahku tertimbun dibalik kelokan jalan.
Tepukan ringan mengembalikan kembali kesadaranku dari pengamatan sesaat tadi.
Azhiel masih menunggu, dan memangnya aku harus jawab apa? Haruskah ada alasan
ketika anak kecil sepertiku bermain hujan seperti ini? Kukira ini wajar.
Kecuali, kalau dia melihatku jungkir balik dipinggir jalan seperti ini, dan
dalam suasana seperti ini. Itu baru bisa menjadikan pertanyaan yang cukup mudah
untuk kujawab. Karena, pasti ada alasan tertentu yang membuatku ingin melakukan
perilaku diluar nalar seperti itu. Nyaris seperti orang gila. Kelihatannya.
“kenapa hujan hujanan? Apa gak dimarahin sama ibu?”
Aziel kembali bertanya untuk kesekian kalinya. Mungkin bosan menunggu jawaban
dari pertanyaannya yang tak kunjung kujawab juga. Aku menghela napas. Baru
menyadari, mungkin saat ini dirumah, ibu sedang sibuk mencari diriku yang tak
terlihat batang hidungnya. Ya Tuhan, aku melupakan satu hal. Aku anak perempuan
ibu satu satunya yang tak pernah sudi keluar rumah tanpa pengawasan seperti
rapunsel-hidupku mungkin tak sedramatis itu. Tapi, aku akan tetap menjadi putri
rapunsel.
Aku mengangguk. Sebagai jawaban atas pertanyaan
azhiel. Minatku luruh sepenuhnya untuk melanjutkan bermain hujan. Azhiel
menatapku bingung. Dan aku tambah bingung ditatap seperti itu oleh dirinya.
Jawaban seperti apa yang dia inginkan? Tugasku hanya menjawab dan dia bertanya.
Baru kusadari ternyata antara aku dan azhiel,
ada satu perbedaan yang sangat mencolok. Bukan lagi perbedaan seperti aku
memakai rok dan dia memakai celana. Apalagi seputar aku perempuan dan dia laki
laki. Semua itu sudah basi. Tapi, karena aku basah-dengan air huja. Dan azhiel
tidak. Itu karena, dia masih setia mengenakan paying yang dibawanya demi
melindungi diri dari bom air dan langit.
Walaupun, tetap ada satu dua percik air yang
mengenainya. Pakaian yang dikenakannya terlihat begitu kontras dengan
lingkungan sekitarnya. Itu karena dia mengenakan warna warna mencolok. Tentu
terlihat sangat kontras dengan langit mendung, dan lingkungan basah yang suram.
Sudahlah. Untuk apa mempedulikan pakaian apa yang dikenakan azhiel. Toh, disaat
ujian juga tidak akan ditanyakan.
“apa maksudmu, dengan anggukan kepalamu, vhika?”
Tanpa sadar aku mendesis. Sambil bertanya Tanya dalam hati. Dia ini terlalu
lugu atau bodoh, sih? Jangan salahkan aku, karena tidak bisa membedakan. Dua
hal tersebutkan, memang hanya setipis kulit perbedaannya. Dan yang kutahu,
hanya tentang aku yang tak suka dengan azhiel.
“aku menjawab ‘kau benar, aku pasti dimarahi ibu’
begitu maksudku.” Jawabku dengan ketus.
“kenapa kau sewot.” Tanya azhiel sebal.
“siapa? Aku? Tidak.”
“iya, kau.”
“apasih, aku hanya menjawab pertanyaanmu. Sama seperti ketika kau meminta, maka
aku berikan. Lalu, ketika kuberi jawaban atas pertanyaan bodohmu, kau malah
mengomel. Apa sih maumu?”
“kau mau tahu mauku?”
“tidak, terima kasih.”
“ayo pulang.”
:)
Aku dan azhiel. Dengan kondisi yang berbeda.
Aku-basah kuyup karena hujan hujanan, ingat?. Azhiel-dengan baju secerah jeruk
dan apel. Masih dengan posisi saling berhadap hadapan. Bagaimana ya caranya
untuk kutunjukkan keadaan saat itu. Aku bingung untuk menceritakannya.
Situasinya sangat aneh. Sampai sampai aku tak tahu situasi macam apa ini.
“apa maksudmu, pulang?”
“iya, ayo pulang.”
“dasar orang aneh.” Ucapku pada akhirnya. Gagal mencoba mengikuti pemikirannya.
Mungkin dia lupa, kalo dari tempat ini arah rumahku dan azhiel itu beda.
Lalu, apa gunanya mengajakku pulang bersama, kalau pada akhirnya kami tak bisa
bersama. Eh? Ya pokoknya begitulah. Bingung aku.
“kerumahmu. Pulang.”
Aku tak menjawab. Hanya menatapnya dengan tatapan aneh.
“pulang, vhika. Nanti kita dimarahin ibumu.”
“kenapa harus kita?”
“apa salahnya.”
“tentu saja salah. Disini yang menjadi anak ibu hanya aku. Yang tinggal disana
hanya aku. Yang harus pulang kesana hanya aku. Lalu, kenapa juga kau harus
mengatakan kita?” protesku. Azhiel tak menanggapi serius omelanku. Malah
melewatiku begitu saja yang masih berdiri kaku karena sewot. Kepalaku serasa
mau meledak karena emosi. Azhiel menyebalkan.
Lima langkah melewatiku. Azhiel berbalik, menawarkan payungnya untuk kugunakan.
Dia itu merem apa gimana? Bajuku basah kuyup gini ko dikasih payung. Gak ada
pengaruhnya. Gak mungkin Cuma pakai payung bajuku akan kering dan wangi
seketika. Mustahil.
Pemandangan rumahku sudah terhampar didepan mata.
Dengan ibuku berdiri didepannya sambil bersedekap. Tamat sudah riwayatku. Aku
akhirnya, dengan terpaksa mau pulang bersama payungnya-dengan azhiel ikut.
Kalo, dia tidak cerewet, aku pasti akan tetap kukuh tak mau pulang bersamanya.
Tapi, berhubung dia berisik seperti nenekku, jadi apalah dayaku. Hujan sudah
tidak sederas tadi, jadi aku tega tega saja membiarkan azhiel berjalan tanpa
payungnya. Toh jarak jalan tempatku bertemu dengan azhiel dan rumah tidak jauh.
Rintik hujan tidak akan membuatnya basah kuyup, seperti keadaanku saat ini.
Maka ketika aku berkata ‘aku tak mau sepayung berdua denganmu.’ Azhiel dengan
ringan tangan langsung menyerahkan payung warna biru transparannya padaku.
Walaupun, payungnya diserahkan padaku, kami tetap berjalan bersisian. Selama
payung ini milikku seutuhnya untuk sementara. Aku tak perlu repot
mempermasalahkan-payungnya cantik kaya langit. Tanpa pertanyaan yang harus
kujawab. Tanpa apapun itu yang membuatku harus mengeluarkan suara karenanya.
Kami sampai didepan rumah dengan selamat.
Dengan susah payah kutelan liur-aku hampir tersedak
karenanya. Kucoba terka apa yang sedang ibu pikirkan tentangku untuk saat ini.
Hukumankah? Omelan panjang, kah? Atau malah berfikir akan membuatkanku sup
hangat lengkap dengan lada dan bawang goreng diatasnya? Nikmat sekali. Tapi,
mengingat raut wajah ibu yang entah bermaksud apa itu-aku bukan peramal.
Pikiran tentang sup hangat itu terdengar sangatlah mustahil.
“vhika dari mana? Kok gak bilang sama ibu?”
Ibu terlihat khawatir, tapi juga sedikit marah. Wajar ibu begitu, aku kan pergi
dari rumah diam diam. Jadi, pasti jadi bahan pencarian seperti di tv tv itu.
Yang biasanya berbunyi seperti ini ‘dicari orang hilang’. Oh ibu maafkan anakmu
yang cantik ini. Batinku.
Azhiel seketika itu menoleh, saat mendengar lontaran
ibu. Anak ini, tidakkah dia bisa berulah seolah tak tahu apa apa? Aku jadi
merasa durhaka sekali jadi anak. Aku benci perasaan bersalah seperti ini.
“vhika habis main hujan hujanan di jalan depan.”
Bukan, itu bukan suaraku. Tapi, dari anak disebelahku. Andaikan aku bisa
meminta jarring laba laba milik spiderman, sudah sejak tadi kututup mulut
azhiel dengan itu. Jujur memang perbuatan terpuji. Amat terpuji malah. Kutahu
itu dengan pasti. Tapi, bisakah dia diam saja. Sementara aku memikirkan kiranya
jawaban yang tepat, agar aku bisa bebas dari kemarahan ibu.
“cepat masuk, vhika. Mandi, sudah ibu siapkan air
hangat. Dan ajak temanmu itu masuk. Diluar dingin.”
Aku menggigil.
Baru menyadari sensasi dingin yang menusuk tulang,
setelah mendengar suara ibu. Perasaan bersalah, menyeruak didalam hatiku. Ibu
tidak marah. Mungkin, ibu juga marah. Ibu tidak marah, tapi aku tahu bahwa
sebenarnya ibu sedang menahan amarahnya terhadapku. Kupikir, ketika aku tak
kunjung juga menjawab pertanyaan ibu. Aku akan diomelinya selama berhari hari,
dihukum, dan tidak diberi makan-ibu tak setega itu. Pokoknya, seperti lakon ibu
tiri disinetron yang biasa kutonton bersama ibu. Makanya, aku cukup kaget kalau
ibu malah hanya memerintahkanku untuk bergegas masuk rumah. Tanpa kata
pengantar omelan. Sepatah kata pun. Menurutku, ibu terlalu baik, untuk menjadi
orang pemarah yang suka mengomel. Dan aku sangat sangat bersyukur karenanya.
🦌🦌🦌🐰
Aku
menggigil. Baru menyadari sensasi dingin yang menusuk tulang, setelah mendengar
suara ibu. Perasaan bersalah, menyeruak didalam hatiku. Ibu tidak marah.
Mungkin, ibu juga marah. Ibu tidak marah, tapi aku tahu bahwa sebenarnya ibu
sedang menahan amarahnya terhadapku. Kupikir, ketika aku tak kunjung juga
menjawab pertanyaan ibu. Aku akan diomelinya selama berhari hari, dihukum, dan
tidak diberi makan-ibu tak setega itu. Pokoknya, seperti lakon ibu tiri
disinetron yang biasa kutonton bersama ibu. Makanya, aku cukup kaget kalau ibu
malah hanya memerintahkanku untuk bergegas masuk rumah. Tanpa kata
pengantar omelan. Sepatah kata pun. Menurutku, ibu terlalu baik, untuk menjadi
orang pemarah yang suka mengomel. Dan aku sangat sangat bersyukur
karenanya.adakah sosok sekeren ibuku?
Aku
masuk rumah lewat pintu samping yang berhubungan langsung dengan dapur. Yang
dari situ aku hanya cukup menuju salah satu sudutnya untuk ke kamar mandi.
Ibuku benar, di dalam kamar mandi, ibu sudah menyiapkan air hangat dan handuk
untukku. Ibu memang selalu tahu, apa yang kubutuhkan. Seperti rahasia kecilku
saat mandi, sampai aku sebesar ini, sudah berumur Sembilan tahun. Aku masih
menggunakan sabun bayi saat mandi. Bukan karena apa, tapi pernah dulu ibu coba
coba membelikanku salah satu produk sabun antiseptic yang biasa ada dimana
mana. Nahas, setiap aku selesai mandi sekujur tubuhku akan gatal gatal, lalu
memerah karena kugaruk sekuat tenaga. Gara gara itu juga aku jadi suka diledeki
ibu. Kalau aku alergi mandi. Apa apaan itu, kalau aku alergi mandi. Kenapa
tidak dari dulu dulu badanku gatal, jika selesai mandi. Maka, sejak saat itu.
Ibu tak pernah lagi membelikanku sabun mandi, kecuali salah satu produk sabun
bayi. Dan sensasi gatal pun tak pernah muncul lagi setelahnya.
Saat aku sedang asik mandi, di ruang tamu ibu sedang duduk berdua dengan
azhiel. Ibu tipe orang yang suka penasaran. Jadi, wajar saja kalau setiap
bertemu orang baru, semua hal akan ditanyakannya. Mulai dari hal penting, tidak
penting, sampai yang sangat tidak penting. Azhiel tipe anak yang mudah membaur
dengan lingkungan baru. Jadi, santai santai saja saat diberondong pertanyaan
oleh ibuku. Tipe idaman untuk masuk dalam kriteria pasangan ngobrol terserasi.
Setelah khawatir memikirkan keberadaanku yang entah ada dimana. Dengan adanya
kedatangan lawan mengobrol yang asik, sudah lebih dari cukup membayar lunas
keresahannya.
“maaf
kalau boleh tahu. Nama mamanya vhika siapa? Biar kalo azhiel mau cerita sama
orang orang. Bisa ngomong pake namanya.”
“ibu namanya, arifah.”
Mulai dari nama, berlanjut kepertanyaan seputar biografi selanjutnya. Tempat
kelahiran, hobi, makanan kesukaan, dan segala tetek bengeknya tak luput dari
sifat kepo azhiel. Entah untuk apa dia menanyakan. Ibu yang ditanya seperti itu
merasa senang senang saja, ditanyai sampai sedemikian rupa. Macam artis saja.
Pikirnya. Tak menyadari, kalau yang sedang mewawancarainya tidak lebih dari
sepantaran anaknya. Memangnya apa yang bisa dilakukan anak seumuran mereka?
Selain makan dan bermain? Ada ada saja.
“apakah vhika, kalau mandi selama ini?” azhiel mengeluh.
“aku datang.” Azhiel berjengit, berteriak kaget. Wajahnya pias.
Aku muncul, persis saat azhiel menyelesaikan perkataannya. Lalu, melangkah
menuju satu set sofa warna coklat kayu sederhana. Disalah satunya duduklah
ibuku. Itu yang kutuju.
“vhika lapar? Ibu sudah memasak sup hangat dimeja makan.”
Belum
genap langkahku mendekat. Ibu sudah menodongku dengan segala bentuk
perhatiannya. Suatu hal yang biasa kudapatkan setiap harinya sebenarnya. Tapi,
terasa berbeda jika kau baru saja bersalah sebelumnya.
“ibu
tak ingin mengatakan sesuatu padaku?” takut takut kuberanikan diri untuk
semakin mendekat kepadanya. Lewat ujung ekor mataku, aku merasa entah ibu
ataupun azhiel menatapku lekat lekat.
“kenapa tidak sebaliknya?”
“baiklah, biar vhika yang bicara.”
“memang seharusnya begitu bukan.” Ibu tersenyum tulus. Menurutku, mungkin akan
lebih mudah jika ibu memarahiku. Bukan malah seolah semua baik baik saja.
“begini,
ibu. Tadi, ibu dimana saat hujan?”
“eh. Ibu tidur di kamar.”
“tahukah ibu, begitu menyebalkannya saat hujan, semua orang seperti punya
dunianya sendiri sendiri. Tapi, tidak dengan diriku. Semua orang seperti sudah
tahu akan melakukan hal menyenangkan apa, saat hujan turun. Seperti ibu tadi,
saat hujan, ibu asik bergelun didalam selimut dengan nyenyak. Sedangkan aku,
mati kebosanan bingung akan melakukan apa. Akhirnya, yang bisa kulakukan
hanyalah menyeret kursi kedekat jendela, memandangi langit, lalu melamun.”
“lalu, ketika aku begitu bersemangat ingin melakukan sesuatu seperti hujan
hujanan tadi. Aku melupakan satu hal. Tentang betapa pentingnya berpamitan saat
akan berpergian.”
“jadi, intinya…” ibu menyela.
“maafkan, vhika.” Aku semakin menunduk dalam.
“baiklah maaf diterima. Ayo makan.” Dengan santai, ibu beranjak dari atas sofa,
menujju ruang makan berada. Dibelakangnya azhiel mengikuti dengan penuh
semangat. Lalu apalagi? Benarkah hanya seperti ini?
Aku
masih terkaget kaget. Hingga tanpa sadar, ternyata sejak beberapa detik lalu,
mataku menatap lurus kearah anak sebesar biji jagung yang suddah beranjak dari
sofa. Berdiri sempurna. Hanya bertahan beberapa detik. Dengan tatapan kosong.
Sebelum dia berbicara dengan nada paling songong yang pernah kudengar.
“apa? Aku lapar. Mau makan.” Aku makin tidak suka semua orang.
:)
Harum
masakan menguar ke seluruh penjuru ruangan. Azhiel berseru riang. Makan makanan
hangat selalu menyenangkan setelah hujan hujanan. Ujarnya. Dengan semangat
didatanginya meja makan yang sudah melambai untuk diperangi sejak tadi.
Perutku
mengeluarkan suara gemuruh aneh. Kuraba sekilas perut datarku. Tengok sana
sini, berharap tidak ada yang mendengar suara dunia lain milikku. Prasangkaku
meleset dengan telak. Azhiel yang duduk persis disamping kananku menyadari
sejak awal. Lalu, tertawa tertahan. Aku mendengus jengkel.
Kualihkan
pandang ke meja yang sudah terhidang sup hangat lengkap dengan bawang goreng
dan lada. Yang diatasnya masih terlihat asap mengepul walaupun samar.
Dipiring yang berbeda ada tahu dan tempe yang digoreng garing. Lalu, sambal
yang berlimpah dilain wadah. Aku berseru girang. Rusuh meminta ibu untuk cepat
cepat membantuku mengambil nasi dari rice cooker.
“sabarlah
sejenak, vhika. Macam tak makan berapa tahun.” Seru ibu sambil tersenyum. Aku
hanya meminta tolong ibu ambilkan nasi secukupnya untukku. Tapi, nyatanya
sekarang tangannya tengah sibuk mengambil lauk yang ada, lengkap dengan sambal.
Memang seperti itukan kodratnya seorang ibu. Selama kita meminta baik baik,
dengan senang hati mereka memberi lebih. Selama mereka mampu.
Suara
denting sendok beradu dengan piring, menjadi suara dominan diruang tempat kami
makan. Sesekali terdengar suara azhiel menyeruput kuah sup dari mangkuknya.
Sambil berseru nikmat setelahnya. Aku meliriknya jengah. Saat makan saja dia
masih berisik. Tidak bisakah, dia hidup dalam ketentraman? Memang sih
kenikmatan sup buatan ibuku itu taka da tandingannya. Segar tak terkira. Tapi,
ayolah jangan macam orang keluar dari pedalaman saja.
“awas,
vhika. Nanti bola matamu keluar.” Dengan santai azhiel mengatakannya sambil
menyuap satu sendok penuh makanan kedalam mulutnya yang kecil. Apa dia bilang?
Bola mataku keluar? Enak saja.
“terserah kau sajalah.” Jawabku ketus.
“diledek seperti itu saja jengkel. Dasar perempuan.”
“apa kau bilang? Enak saja. Aku tidak jengkelan.”
“iya, apa kata orang dewasa? Baper?”
“bodo amat mau kata orang dewasa “baperan” yang penting aku enggak.”
“dasar bucin.”
Apa
coba maksudnya tadi mengataiku baperan. Sekarang mengataiku bucin. Dimana letak
penyambungnya? Tidak ada sama sekali. Nilainya minus.
“memangnya kau tahu apa artinya bucin?” tantangku kepada anak menyebalkan disampingku.
“tahu,
bucin hampir sama dengan bodoh,kan?” ujarnya enteng. Tanpa menyadari. Kalau
celetukannya barusannya lah yang amat bodoh. Pertanda bahwa kosa kata
kehidupannya tidaklah lebih banyak dari anak kelas satu SD.
“dasar
bodoh. Bukan itu artinya.”
“memangnya, bucin itu apa?”
“Tanya saja sendiri.” Jawabku tak peduli. Azhiel makin mengerut jengkel. Sebal.
Rasa penasarannya tak terpuaskan, setelah kupancing pancing. Aku tertawa
mengejek, sambil makin bersemangat menyuapkan makanan. Yang entah bagaimana,
makin terasa nikmat setelah mengganggu azhiel. Menyenangkan.
“menyebalkan.” Azhiel menggerutu, sambil terus memasukan makanan kemulutnya.
Dan makananku menjadi berkali kali lipat nikmatnya.
:)
Hujan
masih awet, kaca kaca jendela mulai berembun. Suasana dingin tapi tak sampai
menusuk tulang. Selepas memuaskan rasa lapar, dengan makanan nikmat tiada tara.
Aku lebih memilih duduk bersandar dibawah sofa sambil bergelung dalam selimut
tebal. Dengan keadaan kenyang, menonton sambil bergelung seperti ini adalah
surga duniawi. Tentram tak terbantahkan. Kecuali, minus azhiel disampingmu
tentunya.
Layar televisi tengah menayangkan serial kartun keluarga tom and jerry. Kartun
faforitku, tapi kadang kadang aku berpikir. Tidakkah sadar wahai para pembuat
animasi kucing, bahwa dalam film-nya ini terdapat banyak sekali adegan
kekerasan? Tidakkah mereka khawatir, jika saja anak kecil polos sepertiku akan
meniru segala tingkah peliharaannya. Satu adegan saja, ketika tom akan
mencelakai tikus itu dengan kapak. Nah, kapak itu kan bukan mainan yang lazim
kugunakan untuk bermain masak masakan dengan ibu. Kalau ibu tahu aku
bermainkapak. Ibu pasti akan menjerit histeris. Jangankan kapak, masak masakan
saja ibu sengaja membeli pisau plastic untukku. Tidakkah ibu menyadari kalau
aku sudahlah cukup dewasa untuk menggunakan pisau besi. Pisau sungguhan.
Terkadang, orang dewasa terlalu meremehkankemampuan anak seumuranku. Seolah
kami tak bisa melakukan apapun. Huh! Bunuh diri sajalah kalau begitu.
“kasian,
tom.” Celetuk azhiel tiba tiba disampingku. Membuatku menoleh, bertanya
mengapa.
“mau mau saja jadi kucing bodoh.” Aku berseru protes, justru karena itulah
letak keramaian film ini. Kalau kucingnya pintar nanti ketika tikus ciklat itu
menyerang, bukannya mengejar. Si kucing malah sibuk membuat perangkap. Dimana
keseruan kejar kejarannya?
“dikehidupan
nyata, kucing tak perlu alasan bodoh untuk mengejar tikus. Sudah menjadi hobi
kucing, kalau melihat tikus langsung dikejarnya.” Baiklah, entah bagaimana dia.
Bisa sampai berfikir sedewasa itu. Untuk kali ini, aku memilih untuk tidak
menyangkal. Diam tanda persetujuan.
“omong-omong
masakan ibumu lezat.”
“memang.”
“tidakkah kau ingin berkata “terimakasih telah memuji ibuku.” Atau apalah.
Walaupun aku tahu itu basa basi.”
“terimakasih.”
“kau memang menyebalkan.” Aku lebih memilih diam. Memangnya respon seperti apa
yang harus kuberikan? Terkadang orang itu aneh. Entah itu orang dewasa ataupun
anak seumuran biji ketapang sepertiku. Ketika aku berusaha mengikuti tren anak
perempuan seumuranku-berusaha terlihat normal. Seseorang, entah bakal siapa
itu. Berkata “jadilah diri sendiri”. Ketika, aku berkelaku sesuai dengan apa
yang ku inginkan-berusaha menjadi diri sendiri. Tidak mau sedikitpun orang lain
mempengaruhiku. Yang terlihat justru sebaliknya. Makin tidak wajar.
Terentang jeda sepersekian detik. Hingga akhirnya aku memilih menjawab.
“kau
mau aku seperti apa? Menjawab sesuai keinginanmu, atau keinginanku?”
“jawablah bahwa kau memang menyebalkan.” Dan azhiel lebih suka aku menjadi
orang lain. Baiklah itu yang dia mau. Ravhika magenta muak dengan kehidupannya.
Ravhika jengah dengan perjalanan kehidupannya. Ravhika mengaku muak dengan
semua orang. Inilah aku, yang akhirnya kalah dengan seorang anak balita berumur
sembila tahun, dialah azhiel febrian.
“aku
memang orang yang amat menyebalkan.” Desisku. Penuh penekanan.
Lewat ekor mata, aku bisa tahu kalau azhiel tengah memperhatikanku lamat lamat.
Mungkin dia heran denganku. Tak biasanya dengan mudah aku menuruti apa yang
dipersepsikan orang. Sudahlah! Aku muak dengan semua anak. Tidakkah mereka
berfikir dahulu sebelum berkelaku? Tidakkah sadar kadang segala omong kosong
mereka bisa jadi amat menjengkelkan? Aku taji teringat umurku yang sudah umur
Sembilan tahun. Bagaimana bisa aku bertahan selama itu? Ternyata diam diam aku
punya kekuatan yang tersembunyi, seperti boboiboy.
“kau
kenapa?”
“aku baik.” Jawabku tetap tanpa menoleh kearahnya. Jika melihatnya, nafsu
harianku memudar.
“kau kenapa?” tanyanya lagi. Tak puas dengan jawaban acuh itu.
“aku baik.”
“lihat, benarkan tom kucing bodoh? Mau mau saja dibully tikus.” Karena memilih
diam. Tak menghiraukan celotehannya. Untuk ketiga kalinya azhiel bertanya.
“kau kenapa?”
Mataku
terasa panas, seperti baru saja terkena cabai. Lamat lamat pandanganku mengabur.
Terhalang selaput tipis air mata yang menggenang disana. Cukup. Tolong jangan
tanyakan lagi. Batinku. Diriku saja tak tahu kenapa bisa menjadi anak yang
sentimental sekali.
“vhika,”
tangan kiri azhiel hinggap dibahu kananku, dengan cepat kutepis. Tanpa sadar
aku melakukannya dengan kasar. Azhiel berseru kaget. Terpancar jelas darinya.
“maaf.” Dengan penuh sesal aku menoleh kearahnya.
“kau kenapa.”
Entah
kenapa dadaku terasa sesak. Serasa ada sesuatu yang memukulnya tepat disana-ulu
hatiku. Belum genap azhiel menyelesaikan perkataannya, aku berdiri dengan
cepat. Lalu, meneriaki azhiel marah. Jangan tanyakan kenapa, karena aku saja
tak mengerti dengan diriku sendiri.
“AKU
BAIK! Tidakkah kau dengar? Aku baik baik saja. Jadi, bisakah kau diam saja?”
jawabku frustasi. Azhiel memang anak kecil, tapi jelas dia anak pintar. Dengan
jeritanku tadi, aku justru mengungkapkan yang sebaliknya. Aku berdusta.
Mendengar suara jeritan, insting ibu berjalan tanpa kendalinya. Ibu tadi yang
tadi entah sedang apa dan dimana. Tiba tiba sudah ada dihadapanku yang bergetar
hebat menahan tangis. Aku tak mau menangis, sungguh. Aku malu menampakan
kelemahanku didepan orang yang tak kusuka. Azhiel.
Perlahan ibu mendekatiku. Mungkin sedang bertanya Tanya. Apa genangan yang
membuat anak perempuannya sekacau ini? Dengan cepat kupeluk erat ibuku, saat
tangannya dengan pelan menyentuh bahuku. Mencoba menenangkan. Tanpa bisa
kutahan, keluar isak tangis tertahan. Yang semakin kau tahan akan semakin
menyakitkan. Ibu tak menanyakan apapun padaku. Azhiel juga masih cukup
terkejut. Usapan pelan dibahuku bukannya membuatku cukup tenang, malah
sebaliknya. Menambah bebanku untuk berusaha tidak menjerit. Karena, sungguh
dadku sakit menahan tangis.
Sepersekian
detik tak juga memunculkan tanda tanda untuk bercerita, ibu mulai menanyakan
keadaanku. Apakah aku baik baik saja? Kenapa menangis seperti itu? Jawabanku
hanya satu. Menjerit keras. Satu, pertanda bahwa aku jauh dari kata baik. Dua,
bisakah ibu menunggu sampai tangisku reda? Tapi, bukan ibu namanya kalau
diteriaki saja langsung gugur.
“vhika
bisa cerita ke ibu. Kenapa? Jangan menangis seperti ini. Ibu ikut sakit
melihatnya.” Dengan segenap rasa, kupaksakan diri untuk menjawab pertanyaan
ibu. “vhika baik.” Sambil tetap tak memalingkan wajahku dari perut ibu, kujawab
seadanya. Dengan suara bergetar, sengau, jelek tak terkata.
“kalau
semuanya baik baik saja, kenapa kau meneriaki azhiel? Kau kan bisa menjawabnya
dengan baik baik, tak perlu kau teriyaki seperti itu. Dia dengar.”
“atau kau sakit? Karena baru pertama kali hujan hujanan?”
Lalu, mengalirlah nasihat, tentang tidak baiknya anak anak bermain hujan.
Selain, karena bisa sakit, terlebih dari itu saja kau bisa tersengat petir.
Jangankan petir, listrik bohlam lima watt saja aku ngeri. Padahal, aku tahu.
Alasannya hanya pada pakaianku yang terkena lumpur dan ibu enggan mencucinya.
Pikirku.
Lima menit berlalu dengan sia sia. Tanganku mulai pegal memeluk pinggang ibu
sambil berdiri seperti ini. Wajahku masih setia terbenam diperut ibu, kurasa
bajunya pun basah karena tangisku. Tapi, sejak tadi tak sekalipun ibu mengeluh.
Tetap setia mengelus pundakku, mencoba meredakan tangisku yang kian tanpa
ujung. Jujur, wajahku serasa mati rasa, kebas, semutan, atau apalah itu
namanya. Aku capek menangis. Seperti habis lari lima kali lapangan.
“ibu,”
walau panggilanku lirih. Dalam keadaan sepi seperti ini ibu bisa mendengarku
dengan baik. Ibu tak menjawab, tapi aku cukup tahu kalau ibu menanti.
“aku pusing menangis terus.” Ibu tertawa pelan. Lalu, entah apa yang merasukiku.
Tiba tiba aku teringat keberadaan azhiel. Moodku terjun bebas seketika.
“azhiel.”
“anak baik itu sudah pulang. Kau terlalu sibuk menangis, sampai tak menyadari
ada orang pamit. Dia sepertinya terkejut, atau malah merasa bersalah.
Entahlah.”
“besok, kau harus inta maaf vhika. Sekesal apapun dirimu, meneriaki teman itu
tetap saja tidak baik. Kau kan bisa bicara baik baik tanpa menjerit sekeras
itu.” Diamku cukup bagi ibu sebagai jawaban, kalau aku mendengarkannya.
Merasa ibu melupakan keluhanku, untuk kedua kalinya aku mengeluh pusing. Ibu
tertawa menyadari kebodohannya. Lalu, menggiring biji salak ini kekamarnya.
“baiklah,
ayo kau tidur saja. Berdo’a saja bangun nanti, hatimu sudah pulih seolah tak
pernah sakit sebelumnya.”
Selama meringkuk lemah diatas ranjang. Ibu setia menemani, bahkan rela
meminjamkan pinggangnya untuk kupeluk. Tangisku sudah cukup reda daripada awal
tadi. Hanya tinggal menyisakan sesenggukan yang tak akan bisa kulawan. Biarlah,
nanti juga berhenti sendiri. Hatiku juga sudah jauh lebih baik. Tak lagi sesak,
tak lagi sakit, hanya seperti rasa bersalah mungkin? Ibu benar. Tak seharusnya
kuteriaki azhiel seperti itu. Aku kan bisa bilang untuk azhiel jangan nanya
nanya mulu. Yah, biarlah yang berlalu. Kata orang dewasa. Sesal memang diciptakan
pada akhir cerita, kan?-kalau di awal namanya pendaftaran. Agar berguna sebagai
pembelajaran.
“kau anak baik, vhika. Dengarkan ibu. Kau sungguh anak yang baik.”
Ibu terlambat.
Tepat
ibu mengucapkan nasihatnya, lima detik yang lalu kesadaranku sudah jatuh dalam
alam bawah sadar. Memperbaiki selimut-memastikan aku tak kedinginan. Mengecup
pelan dahiku, lalu membiarkanku sendiri dalam kamar. Tanpa kesadaran.
:)
Tepat
pukul lima pagi. Saat sayup sayup terdengar suara wirid dari mushola dusun
sebelah. Aku bangun, baru menyadari ternyata kurang lima belas jam aku
tertidur. Bayangkan, sejak kemarin tiga sore sampai sekarang tanpa terbangun
sedikitpun. Persis seperti beruang tidur panjang saat musim dingin. Apa namanya
di ensiklopedia yang sering kubaca, bubur nasi?
Pintu
kamarku terbuka pelan, membuat seberkas cahaya dari luar masuk kedalam kamarku
yang remang remang. Aku tak bergeser sedikitpun dari posisi awalku. Bergelung
nyaman dibawah selimut doraemon sambil memeluk guling. Menanti siapa kiranya
yang hendak membangunkanku pagi ini? Lalu, satu kenyatan menyentakku. Memangnya
dirumah ini ada siapa selain aku dan ibuku?
“vhika?”
panggilnya lirih, tapi tetap cukup jelas kudengarkan. Memenuhi panggilannya,
aku beranjak dari posisi tiduran. Sambil mengucek mata yang terasa begitu
lengket.
“vhika bangun.”
“anak baik. Ayo bersihkan badanmu. Ibu tunggu berdo’a bersama.” Selalu seperti
ini setiap harinya. Tepat pukul lima pagi. Subuh subuh ibu disiplin
membangunkanku, demi bisa berdo’a bersama. Biasanya aku akan mulai meng-absen
alasan demi bisa mendapat tambahan lima menit tambahan waktu tidur. Apapun itu,
demi mimpi yang indah. Tapi, berhubung hari ini sudah terlalu lama tidur. Maka,
tak apalah pengecualian untuk saat ini.
Bergegas
masuk kamar mandi sikat gigi, cuci muka, baru mandi. Aku adalah tipe orang yang
selalu mendahulukan sikat gigi dan mengakhirkan mandi. Ini Karena siapa tahu
kalau sehabis mandi aku sudah terlanjur kedinginan, lalu gagal menyikat gigi.
Itukan menjijikan.
Berdo’a bersama usai, ibu sibuk memasak sarapan, aku sibuk bermalas malasan
setelah memastikan jadwal pelajaran dengan benar. Lalu, setengah jam lebih
seperkian detik. Bel berangkat itu datang.
“vhika,
ayo berangkat sekolah bareng kiki.” Teriaknya lantang dari luar rumah. Ibu tak
perlu lagi bertanya, sudah cukup tahu siapa yang bertandang. Aku yang merasa
kelewat siap segera menghampirinya.
“kau
sudah sarapan? Kalau belum ayo masuk. Ibu sedang didapur menyiapkan sarapan.”
Ujarku ramah. Efek samping menangis kemarin mungkin. Entahlah. Tiba tiba aku
nyaman saja dengan kiki, berbeda saat bersama azhiel.
Sejak
kemarin kiki mengajakku berangkat bersama, aku cukup tahu. Kalau anak yang satu
ini tidak akan melewatkan hari selanjutnya berlalu begitu saja. Pengecualian
hari minggu tentunya. Maka, untuk hari ini. Tanpa perlu diteriaki kedua kalinya
oleh ibu. Aku berinisiatif terlebih dahulu. Yang malah menyebalkannya,
ditanggapi seruan tentang betapa anehnya diriku saat ini.
“ya
sudah kalau tak mau, tunggu saja disini sampai cacing keluar. Aku tak peduli.”
“hei, kau tak boleh membatalkan tawaran yang sudah ditawarkan.” Aku hanya
menatapnya aneh. Lalu, tanpa berkata sepetahpun kutinggalkannyayang masih setia
didepan rumah. Dengan pintu terbuka tentunya. Ayolah, aku tak sekejam itu.
Ibu sudah menunggu kami berdua, diruang tengah. Ruang makan sekaligus ruang
untuk bersantai, atau apapun itu yang kuinginkan. Semuanya terjadi disini. Ibu
menatapku penuh penghargaan, obat yang paling ampuh untuk hatiku yang masih bar
bar.
“aku
tahu aku memang hebat, bu.”
Ibu hanya tertawa pelan. Lalu, perhatiannya beralih kepada kiki yang sudah siap
bertempur sejak tadi. Berkomentar tentang betapa imutnya dia-yang langsung
disambut gelengan keras penolakan.
“ibu,
kiki tampan bukan lagi imut. Lihat aku sudah dewasa.”
“beranjak tua.” Ucapku.
Disambut protesan lebih kencang lagi. Tapi, justru sarapan ini menjadi menarik
karena tak lagi hanya terdengar suaraku dan ibu. Tapi, ditambah lagi celetukan
kelewat berani dari kiki
“nak,
omong omong. Kau belum pernah bercerita tentang keluargamu? Mereka pasti sama
menyenangkannya sepertimu.” Entah hanya aku yang menyadarinya. Atau hanya
karena berlebihan. Senyum kiki terasa ganjil. Seperti ingin mengungkapkan
sesuatu, tapi bersaman saat itu juga. Dia enggan. Astaga, aku yang baru
Sembilan tahun saja menyadarinya. Aku memang hebat karena lebih cepat dewasa,
atau mereka saja para orang tua lambat kali berkembang?
“ah,
ya. Mereka pasti orang orang menyenangkan.” Melihat kiki yang tak kunjung
menjawab. Ibu akhirnya berinisiatif sendiri menjawab pertanyaannya sesuai
praduganya sendiri. Kiki tersenyum. Tidak lebar, tapi cukup meyakinkan.
Selepas pertanyaan tak terjawab itu. Kami bertiga sibuk menghabiskan makanan
yang ada dimasing masing piring. Selesai dengan cepat, aku segera mengajak kiki
berangkat sekolah takut telat. Omong kosong. Walaupun telat, sekolah kami
berbeda dengan sekolah lain dikota kami. Disekitar sekolah tidak ada yang
namanya gerbang. Apalagi hukuman karena telat. Tidak aka nada. Cukup rasa malu,
membuat anak anak dengan sendirinya enggan berangkat telat. Semudah itu
peraturan disini.
Sepanjang
perjalanan, yang terdengar hanyalah suara jangkriki didalam lubang, kicau
burung diatas dahan, ranting patah yang tak sengaja terinjak, dan suara kiki
yang tak lelah mengoceh sejak dirumah tanpa iklan. Aku terlalu sibuk menghitung
jumlah ruas jari yang ada ditanganku. Ditambah ada berapa tahi lalatnya.
Sesekali kujawab “oh” “apa?” “benarkah” tapi tak sekalipun kiki menghentikan
perannya jadi sales kosmetik. Tidakkah dia merasa soal aku yang tak begitu
memperhatikan ocehannya? Sesampai disekolah, kami entah bagaimana secara
kebetulan berpapasan dengan azhiel-sama sama hendak masuk kelas.
“hai,
kiki.” Dengan wajah canggung dia menyapa. Mencoba mengalihkan pandangan dariku
yang hanya melihatnya datar. Malas menanggapi.
“eh hai! Kau tak menyapa anak ini?” sambil menunjuk kearahku, dia bertanya
heran. Aku menatapnya sebal. Apaan sih kiki dengan “anak ini”? memangnya kenapa
jika memanggil namaku. Sebelum azhiel sempat menyapaku, aku terlebih dahulu
menyela.
“aku baik. Kalau itu maksudnya.”
Kutinggalkan mereka berdua yang masih saling menatap, kedalam kelas. Duduk
dibangku, yang kemudian disusul kiki-dia benar benar mengusir etta tempo hari.
Tapi, ketenangan ini hanya bertahan sampai lima menit hingga anak baru itu
datang.
Lima
detik sebelum anak baru itu datang, aku dan kiki tengah berdebat tentang bangku
yang diduduki kiki saat ini. Aku bersikeras kiki harus kembali ketempat
duduknya yang asli, siapa tahukan etta kangen duduk denganku-bohong. Cuma ya
itu, dia tak berani bicara langsung kepada kiki. Bagaimana mau protes, baru
membuka mulut saja matanya itu sudah memelototinya habis habisan. Hanya tinggal
tunggu waktu matanya itu keluar dari tempatnya. Ok! Ini berlebihan.
“ayolah, kenapa sih kau tak mau kembali ke bangkumu?”
“kursiku sudah reot, berdebu lagi. Aku alergi.”
“kau kenapa alay begitu, kau kan anak laki laki.”
“biar saja.” Dia tak peduli dengan omelanku. Tepat ketika aku sudah akan
menimpali ocehan tak bergunanya, anak baru itu masuk kelas ditemani dengan wali
kelas kami.
Anak
“itu” entah kenapa, melihatnya aku merasa tidak suka. Entahlah, mungkin hanya
perasaanku saja. Biasa,kan? Aku memang selalu merasa tidak nyaman dengan orang
baru dilingkunganku. Jadi, aku merasa wajar wajar saja. Sesuatu yang amat
kusesali dikemudian hari, karena mengabaikan perasaan wajar ini.
Dia
anak perempuan yang cantik sebenarnya. Rambutnya sedikit bergelombang. Model
antara lurus dan keriting. Silahkan bayangkan sendiri. Saat ini rambutnya
dikucir dua, persis dibagi ditengah tengahnya. Disetiap kuncir rambut panjang
itu dikuncir lagi dengan karet jepang warna warni, diulangi lagi kemudian
sampai sekitar lima kali kunciran. Disetiap akan dikuncir rambut itu disisakan.
Intinya, gara gara rambutnya diikat model ‘besara’ seperti itu. Kepalanya
seperti punya dua tanduk salah tumbuh. Soalnya bukan tumbuh menjulang keatas
malah melebar kesamping. Dari hasil pengamatanku sementara ini, dia genit.
Sumpah ini part panjang bener.
🦌🦌🦌🐮
“halo, perkenalkan. Namaku, gea Cecilia. Semoga suka
denganku.” Dengan senyum kelewat lebar dan matanya yang memancarkan senter.
Akhirnya, aku tahu, namanya gea Cecilia. Pindahan dari sekolah ibu kota, soal
kenapa pindah kekota kecil kami, dia tak menceritakannya. Tapi, aku punya penjelasan
sederhana. Pasti itu jawabannya. Soalnya, ibuku selalu mengatakannya tiap kali
aku bertanya perihal sesuatu yang menurut ibu tak perlu kuketahui.
Disela sela perkenalannya, anak baru itu juga
mengatakan perihal pekerjaan orang tuanya. Dia bilang, katanya ayahnya yang
biasa bangun gedung gedung besar. Kuli bangunan kali. Pikirku, memangnya apa
sih kerennya jadi kuli bangunan. Aku punya kok tetangga yang jadi kuli
bangunan. Dan kulihat lihat enggak ada keren kerennya. Pulang kerumah pasti
dalam keadaan kaos kotor terkena semen, belum lagi keringetnya yang kya
ditumpahin. Capek banget lagi. Tapi, gea cerita seolah ayahnya itu orang yang
paling hebat. Jadi kuli bangunan apa sih hebatnya? Biasa aja kok. Semua orang
toh bisa. Dasar, anak ini pasti sedang mencoba mengelabui kami sekelas. Untung
aku tahu yang sebenarnya. Jadi, gak bakal kena omongannya.
Lima menit pertama masuk kelas. Digunakan untuk
perkenalan “anak gedung” itu. Lalu, bu guru menyuruhnya untuk memilih akan
duduk dibangku sebelah mana. Dan sialnya, kenapa dari sekian kursi yang kosong.
Dia malah duduk dikursi kosong persis dibelakangku. Aku mengutuk kiki yang
pindah. Dalam perjalanannya ketengah rentetan bangku, selama itu dia menatapku
sambil tersenyum lebar. Senyumnya ituloh, kaya gula gula punya mak lampir. Aku
hanya membalasnya seadanya moodku, lalu mencoba sibuk menghitung satu tambah
satu, yang jawabannya sudah kuhapal diluar kepala.
“hai, aku gea.” Sapanya penuh semangat. Aku yakin,
andaikan dia bukan anak baru. Pasti sudahlah dia lompat kaya kanguru jalan
ditempat.
“iya, kau sudah perkenalan, kan?” dengan penuh paksaan. Kujawab sapaannya,
sambil senyum terpaksa.
“aih, imutnya.” Jeritnya.
“siapa namamu? Kau pasti anak paling cantik disini, soalnya kau cuek sekali.”
Tolong jelaskan padaku apa hubungan cantik dan cuek.
“ravhika magenta. Tolong panggil vhika saja.”
“vhika, kau pasti anak paling cantik disini.” Lagi.
“tidak, makasih.”
“berarti kau anak paling pintar disini.”
“tidak juga.”
“kalau begitu, kau pasti anak paling keren disini. Banyak fans kaya saleb.”
Tidakkah dia tahu betapa katroknya dia? Saleb? Seleb kali. Lama kelamaan aku
mulai terganggu dengan anak perempuan ini. Dia bahkan lebih berisik dari kiki.
Ya Tuhan, cobaan macam apa ini. Kurang baik apa coba aku, setiap hari dicoba seperti
ini.
Akhirnya, karena sudah begitu sebal dengan anak baru
ini. Saat untuk kesekian kalinya, dia menanyakan tentang sifat sifatku. Aku
iyakan saja, apapun ocehannya. Walaupun itu adalah sesuatu yang tak terlalu
masuk akal.
“tuh, kan bener. Vhika pasti anak paling pintarplus
cantik.” Ujarnya dengan bangga. Lalu, dengan penuh kebahagiaan. Akhirnya, dia
duduk disinggasana kiki yang reot dan berdebu. Bersyukur kericuhannya tak
ditambahi perihal tempat duduknya.
Kupandangi kiki, yang ternyata tengah sibuk memperhatikan saudara sesamanya
itu. Anak baru. Dengan kesal, kusikut tangan kiki yang bertopang dimeja. Hingga
saat dengan marah dia memelototiku, kutatapnya dengan datar seolah itu adalah
hal paling wajar didunia. Demi menjaga diri, kuucapkan maaf walaupun tak ingin.
“kau memang selalu sibuk mengganggu, vhika.”
Gerutunya. Mengganggu orang lain, memang menjadi sesuatu yang amat
menyenangkan, kan? Aku beralasan, mencoba membuatnya kembali ingat tanah. Siapa
tahu gara gara memandangi anak gadis terus dia jadi lupa segalanya, kaya difilm
film itu.
Kurasakan bangkuku bergetar. Awalnya, kukira ada
gempa bumi. Ternyata, malah hanya bangkuku yang bergetar. Gara gara diguncang
keras oleh gea. Anak ini belum juga satu jam datang, tapi aku sudah benar benar
jengkel. Mungkin, aku harus mulai mencari tempat duduk yang cocok, untuk
kutempati nanti. Dengan penuh keyakinan, aku tahu. Hari hari sekolahku pasti
akan sangat “menyenangkan” dengan adanya gea dibelakangku-dan jangan lupakan
kiki disebelahku.
Kutanyakan pada gea, apa maunya? Dengan santai ia berujar. “aku hanya ingin
melihat wajahmu.” Astaga. Kiki yang laki laki saja tak sampai sebegitunya.
“ada yang salah dengan wajahku?”
“wajahmu menyenangkan untuk dilihat. Walaupun tak pernah tersenyum sekalipun.”
Dengan penuh bersyukur. Perbincangan ini terputus karena ibu guru
memperingatkan kamu untuk memperhatikan pelajaran. Satu hal yang mampu
membuatku cukup senang, ternyata gea tak sepintar wajahnya. Jadi, cukup kiki
dikelas ini yang menjadi lawanku. Tak perlulah ditambah tambah dengan gea.
Bel pertanda istirahat berbunyi, saat dengan
semangat aku mengajukan pertanyaan. Tepat suaraku sudah dipangkal tenggorokan.
Suara menyebalkan itu dengan lantang berdenging. Hancur sudah mood ku saat ini.
Diganggu anak baru, pertanyaan yang tak tersampaikan. Kurang apa coba. Saat aku
tengah beranjak dari kursi-menuju kantin. Dengan erat ditahannya lenganku,
sambil dikatakannya ingin ikut bersamaku pergi kekantin.
“terserah.” Jawabku. Ditolak pun percuma,kan? Gea
pasti tetap akan memaksa ikut ingin pergi. Pertanyaannya hanya sekadar basa
basi saja. Aku tahu.
Dikantin, gerombolan kami dengan sendirinya menjadi pusat perhatian. Entah gara
gara ada anak baru-perempuan- disebelahku. Atau karena, melihat kiki yang
berada didepanku, sedang sibuk makan seperti satu hari tidak makan. Lihat,
wajahnya buruk sekali. Menyebalkannya, dengan mulut penuh makanan seperti itu,
dia tetap dengan santai mengoceh tidak jelas. Membuat makanan yang sedang
dikunyahnya itu, seolah olah akan keluar berhamburan.
“astaga, kau memangnya tidak makan berapa hari, sih?
Tidakah kau bisa makan dengan pelan. Lihat, kau terlihat antara sedang makan
dengan mau memuntahkannya.”
“tak apa, vhika. Aku senang saja makan seperti ini.”
Tapi, tidakkah dia mengerti. Gara gara melihatnya seperti
ini, nafsu makanku langsung hilang entah kemana. Kupandangi batagor
dihadapanku. Lalu, dengan menghela napas berat. Kumulai masukan makanan ini
kedalam mulutku. Kunyahan demi kunyahan yang kurasakan, benar benar menjadi
tantangan berat untuk saat ini.
Gea yang duduk disebelahku, anteng anteng saja sejak
melihatku rebut mulu dari tadi dengan kiki. Dengan penuh perhitungan, kulihat
dia memakan jajanannya dengan pelan. Sangat pelan malah. Tapi, ada satu
gelagatnya yang tak aku suka. Kalau diperhatikan dengan benar, cara makannya,
jelas dibuat buat sebegitu anggunnya. Setiap suapannya tak sekalipun
mengeluarkan denting sendok dari piringnya. Berbeda sekali dengan diriku, yang
setiap suapannya terdengar seperti orang sedang tertekan. Caranya melahappun jadi
terlihat aneh, tak sekalipun mulutnya belepotan terkena makanan, sekalipun.
Tapi, untuk kesekian kalinya kuyakinkan diri. Bahwa, kau hanya belum terbiasa
dengannya, vhika.
“kau suka batagornya, gea?” basa basi, desisku. Kiki
melotot jengkel kearahku. Berkata “tak bisakah kau diam saja?” dalam
tatapannya. Gea membalasnya dengan senyumnya yang kelewat lebar itu. Kiki yang
dibalas seperti itu, menoleh kearahku sambil tersenyum dengan pongahnya. Apa
coba maksudnya, gerutuku.
“hai, vhika.”
Kupikir, sejak perkataan burukku tadi pagi. Azhiel sudah tak akan sudi berteman
denganku lagi.kupikir dia akan berfikir, untuk apa berteman dengan anak
perempuan seperti itu? Untuk apa bla bla. Tapi, ternyata dugaanku salah. Azhiel
tidak akan berhenti berteman denganku, hanya karena perkataanku yang kasar.
Ataupun karena kelakuanku yang jutek. Lihatlah, dengan bahagianya. Sambil
membawa piring rujaknya, dia menghampiri kami bertiga sambil tersenyum lebar.
Yang kutahu senyumnya itu benar benar tulus dari hatinya. Tak seperti senyum
yang gea tunjukkan. Maafkanlah, aku yangtanpa sengaja –bohong- membanding
bandingkan mereka berdua. Seharusnya, aku tahu. Mereka itu pribadi yang beda.
Dipaksakan seperti apapun juga, mereka tetap akan berbeda.
“hai, vhika.” Ulangnya lagi. Tidak peduli, apakah aku akan menjawab sapaannya
atau tidak.
“hai, azhiel. Dari mana saja kau, baru kekantin? Tidak biasanya. Kau kan selalu
jadi pelanggan pertama disini.” Kiki sibuk mengoceh. Aku tak kunjung ingin
menjawab sapaannya. Hanya senyum kecil yang kutunjukkan. Sambil tersenyum
membalasku, azhiel mengedikkan bahu kepada kiki. Apa salahnya? Itu maksud gaya
tubuhnya yang kutangkap.
“kau sudah tak marah denganku, vhika? Maafkanlah aku. Apapun itu, walaupun aku
tak mengerti dengan kesalahanku. Maafkan aku, bisakan?” dengan sungguh azhiel
mengucapkannya, sampai mengerut dahinya. Aku tahu dia tak berbohong padaku.
Jadi, apa salahnya memaafkannya. Toh dia sudah minta maaf. Bahkan sebenarnya
dia melakukan kesalahan itu tanpa disadarinya.
Kukatakan padanya, telah kumaafkan dirinya.
“kenapa kau menjerit histeris kemarin? Kau membuatku
takut.”
Aku hanya tak suka orang lain berbicara tentangku,
padahal mereka belum tentu benar tahu tentang diriku. Apalagi orang seperti
azhiel yang notabene belum satu hari berteman, tapi sudah menyuruhku mengakui
betapa menyebalkannya diriku. Aku tak suka dipaksa orang lain. Selain ibuku,
ataupun orang orang yang sudah benar benar kupercaya. Dipercayai tak akan
menyakitiku pada waktu mendatang. Dan selalu menjadi pembelaku. Karena, dialah
orang yang paling mengertiku.
“astaga, maafkan aku, vhika. Kau benar kita baru
berteman kemarin dan pastinya yang kutahu tentangmu hanya sebatas nama dan
rumahmu. Aku janji tak akan pernah mengulanginya lagi, vhika.”
“janganlah dengan mudah berjanji. Jika kau belum pasti mampu melakukannya
azhiel.”
“wuih, kata katamu hebat sekali. Sok bijak seperti orang dewasa. Nah, omong
omong. Kau menangis, kok gak cerita sama kiki?”
Sekali pengganggu tetap jadi pengganggu. Merusak
aktingku saja yang bersikap sok dewasa. Kiki ini, apakah tidak sekalipun
berniat menonton saja tanpa menyeletuk gak jelas seperti itu.
“kau ini, mengganggu suasana saja.” Gerutuku.
“eh, benarkah? Kau jarang jarang bisa berfikir seperti orang tua seperti ini.
Aku kan hanya memujimu. Apasih salahku.”
“pokoknya kau mengganggu aktingku.”
“dasar, anak perempuan memang begitu.”
“begitu apa maksudmu, hah?”
“sudah sudah. Kalian kenapa rebut terus sih kerjaannya?” azhiel menimpali
sambil terkekeh pelan. Aku memelotorinya sebal, apa lucunya sih?
“sudahlah vhika. Biarkan saja.”
“halo, namaku gea. Kita belum berkenalan.”
Tiada angin, tiada hujan. Gea menyela diantara
keributan kami bertiga. Sontak semua orang yang dimeja ini terdiam,
memperhatikan gea yang dengan malu malu mengulurkan tangannya kepada azhiel.
Kutatap ekspresi azhiel yang lebih menunjukan rasa enggan dari pada sebaliknya.
Kiki jelas jelas sudah manyun dari tadi. Anak perempuan yang digenitinya jelas
jelas lebih suka dengan azhiel, yang terlihat lebih tua dari umurnya-seperti
orang tua- dibandingkan kiki yang malah seperti itik baru menetas.