Empat
segi
Kuliah, ngaji, ngabdi, ketiga
rutinitas tersebut mengagumkan. Apalagi, bisa menyatukan ketiganya dalam satu
waktu. Seperti yang dilakukan oleh santri bernama Khanida Asmul Aziz, atau
lebih familiar disapa Mba Khan.
Perempuan kelahiran 16 April
1998 ini mengaku tidak keberatan. “Yang penting bisa mengatur waktu,” katanya.
Meskipun demikian, ia merasa bahwa semua itu tidak bisa diraih dengan mudah.
Mondok sebelas tahun, tentu tak lepas dari rintangan.
Dimulai ketika masuk pesantren,
Mba Khan menjadi santri baru yang masuk paling awal, tanggal 25 Juni 2010,
sedangkan santri baru lainnya pada 11 Juli 2010. Tak berselang terlalu lama
memang, tapi cukup membuatnya menangis berhari-hari. “Saya yang paling kecil di
kamar, dan sampai 13 hari saya menangis,” ungkapnya.
Mba Khan pernah mencoba untuk
kabur dari pesantren pada awal kelas satu MTs. Sayangnya, ditengah perjalanan,
ia teringat orang tuanya. Tersadar bahwa kerja keras mereka, tidaklah pantas dibalas
dengan tingkah laku yang tidak beretika. Akhirnya, ia memutuskan untuk kerumah
pamannya yang tidak jauh dari pondok. Dari situlah ia dimotivasi agar kerasan
di pondok.
Setelah lulus sebagai angkatan
pertama MTs Tanbihul Ghofilin, ia memilih melanjutkan ke sekolah yang masih
dalam satu Yayasan, yaitu MA Tanbihul
Ghofilin. Kemudian berlanjut hingga ke jenjang yang lebih tinggi, STAI
Tanbihul Ghofilin program studi Ekonomi Syariah, serta kembali menyandang
angkatan pertama.
Sebuah kehormatan baginya,
karena telah didawuhi langsung oleh masyayikh untuk melanjutkan ke jenjang
perkuliahan tersebut. “Awalnya saya ragu, tiga tahun sudah saya lulus dari
Madrasah Aliyah. Membuat saya berpikir ulang untuk kembali bersekolah formal.
Tapi, orang tua saya berpesan untuk ta’dim, manut dawuh Kyai. Ia berharap
dengan keta’dimannya kepada sang Kiyai, akan mengantarkannya pada buah
kesuksesan yang penuh berkah.
Selain ngaji, ngabdi, dan
kuliyah, Mba Khan juga telah dipercaya untuk menjadi guru Madarasah Diniah,
serta menjabat sebagai ketua salah satu komplek asrama di pondok putri.
“Jangan berani pulang sebelum
bisa membalas apa yang telah dikorbankan oleh orang tua.” Itulah sekilas pesan
darinya. Ia berharap agar para santri betah di pesantren hingga pulang dengan
membanggakan.