Join Group Whatsapp Member

PERANGKAP RINDU

yunita farisha
1

 

dokumen: afifa art (pinterest.com)

Tangho's Journalist - Suatu ketika, di tengah perjalanan pulang, seorang bocah berkucir dua datang dengan derai air mata. Langkahku dihadang olehnya. 


Tepat di depanku ia menjerit-jerit dengan tangis yang begitu derasnya mengucur.

 

Bahkan, aku tidak mengenali dia ini anak siapa? Ataupun gadis kecil siapa? Tapi beraninya ia menyita waktu berhargaku dengan menghalangi jalan. Jemari mungilnya menggenggam erat celana panjang yang tengah kukenakan. Dengan wajah nelangsa dan lugunya ia berkata,

 

“Kakak… Ibuku… Ibuku sendirian. Ibuku dibungkus kain putih, dibawa orang-orang, lalu-lalu ditinggalkan sendirian di bawah tanah.” Gadis kecil itu berujar dengan nada beratnya.

 

Dari hal itu aku sudah paham. Ternyata ia menangisi ibunya yang tiada. Namun itu sama sekali tidak ada urusannya denganku. Ibunya bukanlah ibuku. Adik kecil itu bukanlah adik kandungku. Dan lebih herannya lagi, mengapa ia mengadukan hal itu padaku?

 

Aku berjongkok, menyeratakan tinggiku dengannya. Dengan raut muka lelah nan datar, kuusap air mata di pipinya. Seketika itu ia berhenti menangis. Dan tanpa merasa iba, kulepas perlahan jemarinya dari celana, kemudian melintasinya begitu saja. Aku sibuk. Waktuku berharga. Aku lelah. Ingin pulang dan lekas tiba di rumah.

 

Selang beberapa detik kepergianku, gadis kecil kembali menangis. Namun sayangnya, sifat ketidakpedulianku terhadap sesuatu tidak bisa membangkitkan rasa kasihan. Menyentuh hati saja tidak. Aku lelaki dewasa yang beku. Aku batu. Sampai hari itu. Ya, hanya sampai hari itu.

 

Kepala yang berdenyut membuat langkahku semakin kencang. Aku sudah tidak tahan membayangkan ranjang empuk tempat membaringkan badan, melepas penat, sembari terlelap meluapkan beban. Dalam derap langkah tergesa, ponselku berdering. Ibu. Nama itu tertera di layar.

 

Dengan jengah ponsel kembali kumasukkan ke dalam saku tanpa ragu. Aku sudah hampir sampai. Mengapa ibu selalu khawatir? Padahal aku sudah tentu akan pulang, bahkan tak pernah sampai larut malam.


Sesampainya di rumah, langkahku semakin pasti menuju arah kamar di lantai dua. Dengan segera aku membanting badan di ranjang, dan perlahan terlelap. Tiba-tiba dering ponsel mengejutkanku. Ibu. Baru disadari, aku pulang dengan keadaan rumah yang sepi. Di mana ibu?

 

“Ya, hallo,” ujarku mengangkat telepon.


Suara di seberang sana tidak menjawab. Yang kudengar malah suara isakan yang tertahan.


“Ibu… Ibu, Kak…”


“Deg!!!” Seketika itu aku teringat pada bocah di tengah jalan yang mencegat kepulanganku tadi.


“Ada apa dengan ibu?” ucapku sambil pura-pura bersikap tenang.


“Kak, kenapa tidak menjawab teleponku sedari sore. Temui kami di rumah sakit dekat rumah.” Suara adik perempuanku terdengar lebih santai namun serak.

 

Aku tidak yakin bisa percaya atau tidak. Pikiranku sudah melayang ke mana-mana. Bertebaran meminta keterangan. Terlintas panggilan tak terjawab yang sudah entah kesekian kalinya kuabaikan. Dengan segera, bangkitlah jiwa raga ke rumah sakit, mengikuti petunjuk Salwa, adik perempuanku satu-satunya yang masih berusia 12 tahun.

 

Aku memang terbentuk sebagai manusia yang selalu tidak peduli. Tapi kali ini, untuk tidak peduli aku tidaklah bisa. Bahkan, untuk pura-pura tidak peduli aku tidak mampu.

 

“Salwa. Ibu-“ Suaraku tertahan, menyaksikan adikku menangis tanpa suara dengan memegangi tangan seorang yang sudah tak bernyawa, tanpa manusia lain di sekitarnya. Ya, kini ada aku di sini, yang berbanjir air mata seketika itu juga.

 

“Aku belum peduli padamu, Bu. Tapi engkau belum pernah tidak peduli padaku. Sampai engkau pergi yang tidak akan kembali, aku tidak bisa menghadirkan kepedulian untukmu, di hadapanmu.”

 

Hatiku menjerit, tersendat. Tertancap. Dan sesak. Aku tidak bisa apa-apa. Diam. Beku. Aku seperti patung yang bernafas. Tak berguna.

 

Rindu yang selalu ada namun tak pernah kuutarakan, kini merangkapku dalam ruang hampa ini selamanya.


Farisha.

Posting Komentar

1Komentar

Posting Komentar