Tangho's Journalist - Suatu ketika, di tengah perjalanan pulang, seorang bocah berkucir dua datang dengan derai air mata. Langkahku dihadang olehnya.
Tepat di depanku ia
menjerit-jerit dengan tangis yang begitu derasnya mengucur.
Bahkan, aku tidak mengenali dia ini anak siapa? Ataupun gadis kecil
siapa? Tapi beraninya ia menyita waktu berhargaku dengan menghalangi jalan.
Jemari mungilnya menggenggam erat celana panjang yang tengah kukenakan. Dengan
wajah nelangsa dan lugunya ia berkata,
“Kakak… Ibuku… Ibuku sendirian. Ibuku dibungkus kain putih, dibawa
orang-orang, lalu-lalu ditinggalkan sendirian di bawah tanah.” Gadis kecil itu
berujar dengan nada beratnya.
Dari hal itu aku sudah paham. Ternyata ia menangisi ibunya yang tiada. Namun
itu sama sekali tidak ada urusannya denganku. Ibunya bukanlah ibuku. Adik kecil
itu bukanlah adik kandungku. Dan lebih herannya lagi, mengapa ia mengadukan hal
itu padaku?
Aku berjongkok, menyeratakan tinggiku dengannya. Dengan raut muka lelah
nan datar, kuusap air mata di pipinya. Seketika itu ia berhenti menangis. Dan
tanpa merasa iba, kulepas perlahan jemarinya dari celana, kemudian melintasinya
begitu saja. Aku sibuk. Waktuku berharga. Aku lelah. Ingin pulang dan lekas
tiba di rumah.
Selang beberapa detik kepergianku, gadis kecil kembali menangis. Namun
sayangnya, sifat ketidakpedulianku terhadap sesuatu tidak bisa membangkitkan
rasa kasihan. Menyentuh hati saja tidak. Aku lelaki dewasa yang beku. Aku batu.
Sampai hari itu. Ya, hanya sampai hari itu.
Kepala yang berdenyut membuat langkahku semakin kencang. Aku sudah tidak
tahan membayangkan ranjang empuk tempat membaringkan badan, melepas penat,
sembari terlelap meluapkan beban. Dalam derap langkah tergesa, ponselku berdering.
Ibu. Nama itu tertera di layar.
Dengan jengah ponsel kembali kumasukkan ke dalam saku tanpa ragu. Aku
sudah hampir sampai. Mengapa ibu selalu khawatir? Padahal aku sudah tentu akan
pulang, bahkan tak pernah sampai larut malam.
Sesampainya di rumah, langkahku semakin pasti menuju arah kamar di
lantai dua. Dengan segera aku membanting badan di ranjang, dan perlahan
terlelap. Tiba-tiba dering ponsel mengejutkanku. Ibu. Baru disadari, aku pulang
dengan keadaan rumah yang sepi. Di mana ibu?
“Ya, hallo,” ujarku mengangkat telepon.
Suara di seberang sana tidak menjawab. Yang kudengar malah suara isakan
yang tertahan.
“Ibu… Ibu, Kak…”
“Deg!!!” Seketika itu aku teringat pada bocah di tengah jalan yang
mencegat kepulanganku tadi.
“Ada apa dengan ibu?” ucapku sambil pura-pura bersikap tenang.
“Kak, kenapa tidak menjawab teleponku sedari sore. Temui kami di rumah sakit dekat rumah.” Suara adik perempuanku
terdengar lebih santai namun serak.
Aku tidak yakin bisa percaya atau tidak. Pikiranku sudah melayang ke
mana-mana. Bertebaran meminta keterangan. Terlintas panggilan tak terjawab yang sudah entah kesekian kalinya kuabaikan. Dengan segera, bangkitlah jiwa raga ke rumah sakit, mengikuti petunjuk Salwa, adik perempuanku satu-satunya yang masih
berusia 12 tahun.
Aku memang terbentuk sebagai manusia yang selalu tidak peduli. Tapi kali
ini, untuk tidak peduli aku tidaklah bisa. Bahkan, untuk pura-pura tidak peduli
aku tidak mampu.
“Salwa. Ibu-“ Suaraku tertahan, menyaksikan adikku menangis tanpa suara dengan
memegangi tangan seorang yang sudah tak bernyawa, tanpa manusia lain di
sekitarnya. Ya, kini ada aku di sini, yang berbanjir air mata seketika itu
juga.
“Aku belum peduli padamu, Bu. Tapi engkau belum pernah tidak peduli
padaku. Sampai engkau pergi yang tidak akan kembali, aku tidak bisa
menghadirkan kepedulian untukmu, di hadapanmu.”
Hatiku menjerit, tersendat. Tertancap. Dan sesak. Aku tidak bisa
apa-apa. Diam. Beku. Aku seperti patung yang bernafas. Tak berguna.
Rindu yang selalu ada namun tak pernah kuutarakan, kini merangkapku dalam
ruang hampa ini selamanya.
Farisha.
yakin sii, best bnget
BalasHapus