OPUS
Bagian
Satu
Tabuh
suluk
Nada merambat terhimpun berbaris
diantara gendang telinga, menyerap dan menyuarakan makna tanpa sekalimat kata,
hambur dalam riuh tabuhan gendering, petik gitar, dan tiup terompet. Mendengar
seperti itu bukanlah hal yang bermakna, namun kadangkala tercipta sebuah melodi
redup yang menjirat hati, merasa, melihat, dan kemudian bertindak. Mengukuhkan
bahwa simfoni memang tidak hanya dapat didengar sebagai pelipur lara, melainkan
insrumen nyata dalam prosesi kehidupan.
zzz
Aku duduk dengan bersanding secangkir
kopi sore ini, duduk berdua diatas kursi kayu tua di belakang rumah, aku lihat
isteriku sangat menikmati suasana yang sebenarnya hampir setiap hari kami
rasakan. Pemandangan senja dengan sayup music jazz yang sengaja aku putar
sedikit pelan untuk menemani curhatan dan cerita hari ini.
Sepertinya kami terlaru larut dalam
buaian senja, kami duduk dan tidak satupun yang terlewati kecuali itu adalah
hanya dengan lamunan dan segelas teh. Hampir setengah jam kami hanya terdiam
tanpa satupun kata yang terucap.
“Bell…” lirih kusebut namanya untuk
mencoba memulai pembicaraan. Ya… namanya Bella, gadis cantik yang aku kenal
sejak kelas dua SMA.
“hmmm…” sahutnya sambil menoleh
kearahku.
“kau tau….?”
“kau selalu tau, aku adalah orang
pertama yang selalu ingin mendengar setiap hal tentang dirimu” jamwabnya sambil
tersenyum.
Aku balik tersenyum, begitulah dia,
selalu mengerti bagaimana dia harus lakukan, hal yang sebenarnya tak pernah aku
lihat pada saat kisah kami mulai tertulis pada masa muda dulu.
“aku mendapati banyak hal hari ini,
aku bertemu banyak anak-anak, mereka menatapku dengan sorot mata yang
berbeda-beda. Aku melihat mereka menikmati permen dan bubur kacang dengan
sedikit bercak noda di pipi dan baju mereka”
Aku lihat isteriku menghela sebegitu
dalam “huft, bahasa itu… sudah lama aku tak mendengarnya. Aku ingat saat dimana
kau banyak berbicara. Selalu terdengar seperti tanpa tujuan dan tak berarah”
jawabnya sambil sesekali tertawa.
“aku menyesal pernah mendengarkannya,
sayangnya kau selalu memaksaku untuk melakukannya” imbuhnya dengan ekspresimya
yang menyebalkan.
“hahaha… bukannya kau menyukainya?,
kau meminta banyak puisi, dan ketika kau lelah, kau memintaku untuk merekam
tulisan-tulisanku”. Aku berpikir untuk melanjutkan cerita tentang anak-anak
tadi, tapi kemudian aku melihatnya tertawa, mungkin dia tak menginginkan itu,
ada banyak hal yang lebih penting, dan bisa kita bicarakan sekarang. Aku rasa
itu memang bukan hal yang penting, terkadang suatu percakapan memang mengalir
seperti itu, salah satu dari kita mengalah dan melanjutkan hal yang lain.
Mungkin terlalu egois jika kita memaksa untuk itu.
Zzz
Ini adalah kejutan pagi yang luar
biasa, aku mendengar kicau burung dan hangat mentari pagi yang masuk dari sela
pintu jendela. Suatu hal yang tak pernah bisa aku rasakan saat setelah aku
meninggalkan kampung halamanku. Ya… lama sekali, aku pergi saat aku baru lulus
sekolah dasar. Aku bisa mencium dingin lembab udaranya, aku bergegas untuk
membuka mata, meninggalkan mimpi yang sebenarnya masih menggelayut dalam
ingatanku. Pagi yang penuh semangat…
Tak begitu lama sampai aku dapat
melihat pagar kayu dan dan jam dinding yang bahkan jarumnya tak beranjak satu
mili-pun untuk beberapa hari ini, dengan jelas dari tempatku berbaring aku bisa
melihat genting-genting rumah dan etalase listrik yang sedari lama telah
menghidupi sebuah bohlam lima-watt sebagai penerang malam-malamku. Ah… sedikit
lebih baik setelah aku selesai meregangkan tulang-tulang renta ini. Pelan-pelan
aku sibakkan kain yang menyelimuti tubuhku, duduk, dan kemudian ah… aku kembali
berbaring, tubuhku sangat lelah, kau tau rasanya bagaimana ketika kau berlari
mengelilingi lapangan selama Sembilan puluh menit, ditambah kau harus mendapat
bonus berupa tackle keras pada akhir langkah kakimu. Mungkin setidaknya seperti
itu yang aku rasakan, hahaha… semoga saja aku tak terlalu berlebihan.
Aku rasa semuanya telah cukup,
tanganku menyambut handuk yang menggantung di dekat lemari, udara disini sangat
dingin, khas pegunungan tropis Indonesia. Mungkin sedikit air hangat akan
menjadikan hariku lebih baik.
Aku membuka pintu jendela kamarku
sebelum aku beranjak ke kamar mandi, sirkulasi udara adalah hal yang sangat
penting untuk menjadikan ketenangan dan memberi sedikit rasa sumringah. Tidak
semua orang memahami tentang hal-hal kecil seperti itu, tetapi aku rasa dengan
hal kecil itulah aku bisa melakukan banyak hal besar seperti yang banyak orang
katakan.
Sejenak aku menghela nafas, dan
kemudian berlalu dengan meninggalkan kamarku bersama sinar mentari uang
merangkak dari lantai-lantai hingga merayapi pagar. Aku menarik gagang pintu
dan kemudian membukanya, aku tak perlu memutar kunci untuk itu, karena memang
aku selalu membiarkannya seperti itu, tidak ada yang menginginkan pintu kamarnya
di buka secara paksa… aku rasa seperti itu. Ada begitu banyak privasi disana.
Suara dernyitan pintu terdengar jelas
di telingaku, sambil sebenarnya mengiringiku untuk dapat mengingat banyak hal
dengan baik, sedikit rasa heran dan deg… jantungku berdebar, memacu darahku
dengan tempo yang sama sekali berbeda. Aku melihat semuanya seperti masa
kecilku, ada banyak hal yang aku rasa telah lama tak berada di sekitarku, radio
kecil, buku mewarnai, dan… ibu. Tidak, ini mimpi, Ilusi, imajinasi… aku ragu
dengan semua ini, tapi semua jelas tergambar dimataku. Tidak ada petaka yang
menjemputku, tidak ada musibah atau apapun yang menghampiriku. Aku berdoa dan
kini aku berada di tempat yang sama. Ibu…
Zzz
“namaku Syamsir Bejnberg” aku
berteriak keras menyambut sedikit kesuksesan yang aku dapatkan, terlihat begitu
sombong, tapi aku tak peduli, aku suka dengan semua ini, teriakan melepaskan
segalamya, aku sudah berusaha keras untuk ini, aku bahagia… dan walalaupun
tidak sama seperti apa yang mereka rasakan ketika disekelilingku.
Usiaku enam belas tahun, masih
terlalu kecil umtuk dapat dikategorikan sebagai orang dewasa. Aku menemukan hal
baru, satu hal yang sangat special, dan aku tak mengerti bagaimana ekspresi
yang seharusnya aku sajikan setelah semua itu, setidaknya hal yang mungkin bisa
menjadikanku terlihat lebih normal. Suasana disini memanglah sangat sunyi, hal
yang lumrah kita jumpai di setiap perpustakaan, jadi sebenarnya wajar jika
mereka melihatku sinis ketika aku berteriak kegirangan tadi. Tapi biarlah, setidaknya
hal itu tidak menjadikanku terusir dari tempat ini, ada banyak hal yang masih
harus aku lakukan disini.
Melihat banyak kasus dengan posisi
duduk memanglah bukan hal yang menyenangkan, terlebih ada banyak genderam
saling bersahut membakar persaaan kita, dan semua orang mengalami itu.
Sebenarnya duduk terdiam juga bukan menjadi sebuah masalah, mungkin aka nada
banyak hujatan yang menanyakan mengapa kita tidak turut andil ketika kita
berjumpa dengkan sebuah kasus, tapi kita tidak cukup hanya mengerti untuk
menyelesaikannya, kita harus memahami setiap detail-nya, dan itulah yang saat
ini sedang aku cari.
Suasana semakin sepi dan jarum jam
terus berputar. Sudah sore, dan aku harus bergegas, atau aku tidak akan dapat
menemukan angkutan umum untuk dapat kembali ke rumah. Sayangnya di kota kecil
seperti ini hamper tidak ada angkutan yang beroperasi selama dua puluh empat
jam. Hal yang sangat merepotkan sebenarnya, tapi disitulah suatu ketertiban
tebentuk secara alami, kita harus dating dan pergi dengan waktu yang hampir
sama, tidak ada alasan untuk menunda ataupun mengulur sesuai keinginan kita.
Aku meninggalkan banyak buku diatas
meja, terlihat seperti anak yang rajin agaknya, tapi sebenarnya aku tak membaca
semua itu, aku memilah apa yang harus aku baca, ada banyak bab dan tema, dan
aku rasa tidak semua itu penting, obyektivitas lebih diperlukan pada
saat-seperti ini. Aku hanya membawa oleh-oleh kecil untuk beberapa hari
ke-depan, beberapa baris catatan kecil dan buku karangan John Thompson untuk melengkapi
hasratku kali ini. Aku tak tau bagaimana dia meramu tulisan-tulisannya,
semuanya Nampak mempesona, buku social biasanya terbaca kaku dan menyebalkan,
tapi tidak dengan apa yang dia kerjakan, ada gairah dan ketenangan disana, satu
hal yang sangat aku perlukan.
“terima kasih…” ucaoku sambil
menerima buku yang disodorkan bapak penjaga perpus, intensitas kehadiranku
disini ridak lantas membuat kami akrab, dia orang yang sangat pendiam, wajahnya
sangat tenang, walau sebenarnya aku yakin… dia sangat focus dengan apa yang
sedang dia lakukan. Aku pikir dia menemukan banyak kebahagiaan disini, bekerja
bersama hal yang dia cintai. Ada dunia yang sama sekali tidak dapat kita
rasakan, atau bahkan melihatnya… dan dia telah menemukan itu. Hal sepele
mungkin ketika kita lihat seberapa kocek yang dia dapatkan dengan duduk
berjam-jam ditempat seperti ini. Dunia memang bukan hanya soal uang, kemewahan
dan gaya. Rasa cinta melakukan segalanya, berperan dengan apa yang ada dalam
dirinya.
Dia tersenyum membalas ucapanku,
seperti pelayan pada umumnya. tetapi bahasa bukan hanya tentang kata-kata, ada
banyak yang dilakukan selain dengan itu, dan ketika kita berjumpa dengan
seorang yang pemalu, dia juga tidak memberikan gestur ataupun yang lainnya,
tetapi kita bisa merasakan seberapa hangat dia, mata dan pipinya seolah
memberikan banyak pujian dan penghormatan, tetapi sekali lagi… hal seperti itu
tak pernah dia ucapkan.
Aku keluar dan bergegas untuk mencari
angkutan, jam menunjukan pukul empat sore. Sedikit terlambat agaknya, memutuskan
untuk bergerak secepat dan sewajar mungkin adalah satu pilihan yang tepat, aku
tak mungkin berlari ditengah keramaian seperti ini. Terlebih… ada banyak hal
yang masih bergelantungan dalam benakku. Sensasi lembut seperti simfoni lembut
yang membantah untuk diam dan bergolak masuk bersama dengan serangkai hasrat
dan waktu. Andai kehidupanku adalah sebuah serial drama, aku yajin ada backsong
yang sedang bersenandung.
Jujur… terkadang aku tak begitu
tertarik untuk dapat pulang, hanya saja ditempat itu aku dan ibuku harus
menetap. Jelas bukan tempat yang baik, semua orang mungkin tidak ingin
mendapatkannya. Ini seperti sebuah pengasingan. Sebenarnya tidak ada yang
menuntuk keluargaku untuk tinggal disini, tetapi kenyataan bahwa kami adalah
keturunan penjajah menjadikan kami tersungkur ketika berhadapan dengan
masyarakat pribumi. Jelas tidak ada alas an utuk dapat berada dalam social yang
sama dengan mereka, aku tak menyayangkan semua itu, tapi semua orang akan
berharap tentang hal yang sama, hidup dengan hak-hak yang sama.
Keindahan alam tak lamtas menjadikan
kami lebih baik, pada kepindahan keluarga kami delapan tahun yang lalu,
menghantarkan kami ke tempat dimana ketenangan tak pernah terwujud, ada banyak
pergunjingan disini, dari orang belanda sepertiku, dan bahkan orang keturunan
PKI, dan sebagainya. Aku rasa kami tak pernah memiliki rasa yang berbeda dengan
bangsa pribumi lainnya… tentang cinta dan menghargai tempat tinggal kami, di
tanah pertiwi yang kaya ini.
Kenyataan banyak berbicara tentang
hidup kami, perasaan bahwa berbuat baik bukanlah suatu hal yang diharapkan
banyak orang, tidak selalu ada kebenaran disana. Pertolongan serta perhatian
sudah menjadi hal yang sangat biasa, tidak ada nilai dan bahkan sedikit saja
memberi wajah yang menyenangkan, lamtas apa yang dapat dilakukan ketika
kejujuran bukan lagi menjadi bahasa kami…?, jelas kebohongan tidak pernah kami
jadikan sebagai rujukan untuk menjawabnya, hanya saja sampai saat ini aku masih
meyakini… “kebenaran dan kejujuran tak pernah mengenal untung-rugi”.