Terpaksa
Jadi Biasa
“Setelah ini kemana arah langkahku?”.
Ketika kita telah menyelesaikan
suatu hal, pasti akan muncul hal baru lainnya. Sehingga seringkalipertanyaan
tersebut hinggap dipikiran. Dan saya pernah mengalaminya.
Dulu ketika masih duduk dibangku SD,
saya pernah berkata dengan semangat kepada Mama. “Ma, ngesuk Nisa pengin
dadi wanita karir”, (Ma besok Nisa ingin jadi wanita karir). Mama hanya
diam. Tapi, diamnya Mama seperti dukungan bagi saya.
Menginjak kelulusan, seperti
kebanyakan anak pada umumnya, saya sudah memilih sekolah favorit. Tapi pada
suatu malam, entah angin dari mana Bapak bilang “Nis, ngesuk Ahad Kliwon
mangkat pondok Mantrianom, Lanjutna sekolah kana”, (Nis besok Minggu Kliwon
berangkat ke pesantren Mantrianom, lanjutkan sekolah di sana). Tidak ada
embel-embel apapun. Bahkan semua keluarga seperti mendukung.
Menjadi seorang santri?, dulu tak
pernah terpikir sama sekali. Dan kini saya menyandang gelar tersebut. Awal-awal tahun
saya lalui dengan berat hati, beban pikiran, dan yang pasti tangisan. “Tidak
betah”, kata pertama yang akan terlontarkan ketika ditanya oleh Mba Pengurus,
“Kenapa nangis Dek?”.
Memasuki semester ke dua, saya sudah
mulai terbiasa dengan jadwal padat pesantren. Dimana pada pukul 20:00-22:00
adalah jadwal untuk belajar malam di ruangan-ruangan yang sudah ditentukan, guna
mempelajari dan memusyawarohkan pelajaran yang besok akan dipelajari. Pada
suatu malam ketika sedang berlangsung jam belajar, saya sedang menemani salah
satu teman kelas memakan Pop Mie di kamar. Dan tepat pada waktu tersebut Ibu
Nyai sedang berkeliling mengecek kegiatan pondok pesantren. Saya beserta teman
saya ketahuan sedang makan Pop Mie dan tidak mengikutri kegiatan, seketika itu
kami berdua di ta’zir (dihukum) di depan anak-anak yang tengah
bermusyawarah. “Bacakan ayat kursi sekarang!”, perintah Ibu Nyai. Saya
diam, saya bingung, dan saya tidak tahu apa itu ayat kursi. “Ayat Kursi
urung apal kon sinau malah mangan. Pengin ilmu manfaat tho mba?, Wis ngesuk
sampean nang makom yasinan apalke ayat kursi.”, (Ayat kursi belum
hafal di suruh belajar malah makan,
Ingin ilmu bermanfaat kan Mba?. Sudah besok kamu ke makom yasinan dan hafalkan
ayat kursi). Setelah kejadian tersebut saya jadi sering yasinan ke makom Abah
Hasan, meskipun sedang tidak ta’ziran. Karena kala itu, mengikuti yasinan
setiap pagi di makom adalah sunah untuk anak sekolah.
Saya bersyukur atas kesempatan itu,
percayalah atas berjalannya waktu pasti
akan menikmati dengan sendirinya apa yang ada di pesantren. Jangan pernah
merasa paling susah, paling menderita ketika mendapati tugas-tugas sekolah.
Karena orang tuamu tak pernah lelah mencari nafkah dan menggelar sajadah.
Seberapa kamu semangat mengaji,
mengabdi, pastikan kamu akan meraih impianmu. Wanita berkarir memang impian
saya. Tapi saya tak pernah merasa santri setelah keluar pondok tidak bisa apa-
apa. Banyak cerita dari alumni yang telah menjadi wanita karir. Setelah mereka
mendapatkan ridho -Mu robi rukhi. Jangan pernah terbebani memiliki gelar
santri. Berbanggalah ketika kamu mampu bertahan diantara tumpukan kesibukan,
tugas, dan tanggung jawab untuk terjun melawan kekerasan hidup.
Seberapa kamu ikhlas seberapa kamu
sabar, semua akan kembali pada dirimu sendiri. Tancapkan dihati kecilmu
bagaimana kamu bermanfaat.tak usah menggebu - gebu, nikmati penantian karena
yang indah bukan tujuan tetapi juga perjalanan. (Annisa Rizqi)